“Aku tidak gila, Festus yang mulia,” jawab Paulus. “Apa yang aku katakan adalah benar dan masuk akal.” (Kisah Para Rasul 26:25)
Salah satu contoh paling instruktif tentang kepekaan terhadap pendengar dapat ditemukan dalam pembelaan Paulus di hadapan Festus dan Agripa (Kisah Para Rasul 26). Paulus telah ditangkap dan dengan berani memanfaatkan kesempatan untuk berbicara kepada massa (Kis. 21:33–22:21). Reaksi mereka terhadap kesaksiannya sangat jelas:
“Orang banyak itu mendengarkan Paulus sampai pada perkataan itu. Tetapi kemudian mereka mulai berteriak, katanya: ‘Enyahkan orang ini dari muka bumi! Ia tidak layak hidup!’”
(Kisah Para Rasul 22:22)
Ketika Paulus hendak didera, ia dengan strategis menyebutkan bahwa dirinya adalah warga negara Romawi, sebuah fakta yang pada akhirnya membawanya ke Roma (23:11). Dalam perjalanannya, ia menghadapi konfrontasi keras dengan Mahkamah Agama (22:30–23:10), lolos secara ajaib dari rencana pembunuhan (23:12–22), dan dikawal oleh pasukan bersenjata ke Kaisarea (23:23–35). Di sana, orang Yahudi mendakwanya, dan Paulus memberikan pembelaan. Namun, wali negeri Felix menunda pengambilan keputusan. Meski demikian, ia sering berbicara dengan Paulus selama dua tahun masa jabatannya. Paulus tahu bahwa Felix itu kejam, rakus, dan penuh nafsu, maka ia memastikan bahwa percakapannya memuat pokok-pokok Alkitabiah seperti “kebenaran, penguasaan diri, dan penghakiman yang akan datang” (24:25).
Ketika Festus menggantikan Felix, Paulus masih berada di penjara. Namun dalam dua minggu setelah menjabat, Festus mempertemukan Paulus dengan orang-orang Yahudi. Sekali lagi, Paulus menggunakan manuver hukum yang sah untuk menghindari permintaan agar ia dibawa ke Yerusalem, yang bisa sangat membahayakan. Ia mengajukan banding kepada Kaisar, dan Festus menyetujuinya.
Beberapa hari kemudian, Raja Agripa datang bersama saudari perempuannya, Berenike (25:13), dan Festus mendiskusikan kasus Paulus dengannya. Ketika Agripa menyatakan ingin mendengar langsung dari Paulus, Festus mengatur sebuah sidang pada hari berikutnya, sebuah pertemuan resmi yang dihadiri oleh orang-orang kelas atas (25:23).
Festus dengan jelas menyampaikan bahwa ia terutama menginginkan pendapat Agripa sebelum mengirim Paulus ke Roma (25:26):
“Tetapi tidak ada sesuatu yang nyata yang dapat kutulis kepada Baginda tentang dia. Itulah sebabnya aku membawanya ke hadapan kamu sekalian, dan terutama ke hadapanmu, Raja Agripa, supaya setelah diadakan pemeriksaan aku memperoleh sesuatu untuk ditulis.”
Kata-kata Paulus dalam situasi ini menunjukkan betapa sadar dirinya terhadap siapa pendengarnya dan batasan-batasan yang ada karena ini adalah sebuah persidangan. Ia tahu alasan keberadaannya di sana dan bahwa Agripa memiliki pengetahuan tentang perkara-perkara Yahudi (26:3) serta tentang peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Yesus (26:26):
“Raja sendiri mengetahui tentang segala perkara ini, sebab itu dengan berani aku berbicara kepadanya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatu pun dari semuanya ini yang belum didengarnya, karena semuanya ini tidak terjadi di tempat yang terpencil.”
Karena itu, Paulus bisa dengan bebas membicarakan hal-hal yang diketahui oleh orang-orang Yahudi, termasuk pendidikannya dan semangatnya sebagai seorang Farisi dan penganiaya jemaat (26:4–11). Ia juga tahu bahwa inti pesannya – bahwa Yesus yang bangkit menemuinya di jalan ke Damsyik dan memanggilnya sebagai hamba dan saksi – bertumpu pada dua pilar yang diyakini oleh para pendengarnya:
(1) Allah membangkitkan orang mati (26:8), dan
(2) para nabi dan Musa telah berkata bahwa Mesias harus menderita dan bangkit serta memberitakan terang kepada bangsanya sendiri dan bangsa-bangsa lain (26:23).
Paulus bisa saja menyampaikan pembelaannya dengan cara berbeda, tetapi ia tampaknya memilih pendekatan ini karena pendengar utamanya, Agripa, sependapat dengan dasar argumennya (26:27):
“Percayakah Raja Agripa kepada para nabi? Aku tahu, bahwa Baginda percaya kepada mereka.”
Pernyataan ini menempatkan Agripa dalam posisi yang sulit. Jika ia mengakui bahwa ia percaya kepada para nabi, maka ia akan sulit menyangkal bahwa Allah dapat membangkitkan orang mati dan bahwa para nabi memang telah menubuatkan kematian dan kebangkitan Mesias. Fakta bahwa Agripa mungkin tidak menyukai cara Paulus menggunakan logika tidak mengurangi kekuatan argumennya.
Paulus menepis keberatan Festus yang menuduh bahwa pengetahuannya yang luar biasa telah membuatnya gila. Ia bukan hanya menyatakan bahwa dirinya waras dan bahwa pembelaannya itu benar dan masuk akal, tetapi juga dengan signifikan mengingatkan Festus bahwa ia sebenarnya sedang berbicara terutama kepada Agripa, yang memahami dasar pemikirannya (26:25–26).
Di sini, Paulus dengan cermat menggunakan logika, tetapi ia memulainya dari titik yang disepakati oleh pendengarnya. Metodenya ini tentu menjadi teladan bagi kita. Kesadaran akan audiens dan kepekaan yang digunakan demi pelayanan Injil adalah pendekatan yang selalu tepat.
Tuhan yang penuh kasih, terima kasih karena Engkau merancang dunia-Mu sedemikian rupa sehingga masuk akal bagi mereka yang memiliki pikiran Kristus. Berikanlah aku hikmat untuk berbicara bagi-Mu sedemikian rupa sehingga siapa pun yang mendengarnya harus mengakui bahwa apa yang kukatakan itu konsisten secara internal dan dapat diuji secara eksternal. Amin.
