Perempuan Samaria itu berkata kepada [Yesus], “Engkau orang Yahudi dan aku seorang perempuan Samaria. Mengapa Engkau meminta minum kepadaku?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.) (Yohanes 4:9)
Tiga tugas utama kita sebagai pengkhotbah adalah eksegesis, interpretasi, dan komunikasi. Dalam praktiknya, ketiga tugas ini sulit untuk dipisahkan karena kita membawa perspektif budaya kita masing-masing dalam proses tersebut.
Eksegesis mengharuskan kita untuk mencoba masuk ke dalam budaya penulis dan pendengar asli agar kita bisa memahami makna kata-kata seperti yang mereka pahami. Ini menuntut studi teks yang saksama. Dari sana, kita bergerak ke tahap interpretasi—yaitu menafsirkan makna teks tersebut. Untuk meminimalkan distorsi makna akibat secara tidak sadar memasukkan makna kita sendiri ke dalam teks, kita harus waspada terhadap bias dan kesalahpahaman budaya kita sendiri, serta mengundang Roh Kudus untuk membiarkan seluruh Alkitab mengoreksi kita agar kita dapat melihat makna teks dalam konteks kanonisnya secara benar. Ketiga, kita harus mengomunikasikan makna tersebut kepada para pendengar dengan cara yang memperhitungkan budaya mereka—termasuk bahasa, pola pikir, dan pengalaman hidup mereka.
Namun demikian, seperti halnya Alkitab mengajar, menegur, mengoreksi, dan melatih para pendengar pertamanya, demikian juga Alkitab harus melakukan hal yang sama terhadap kita, apa pun budaya kita, dan terhadap para pendengar kita, apa pun kecenderungan budaya mereka.
Ketiga hubungan—dengan Allah, dengan Kitab Suci, dan dengan para pendengar—berperan ketika kita mempertimbangkan soal budaya. Hubungan kita dengan Kitab Suci menuntut pemahaman yang makin dalam tentang budaya-budaya di mana Kitab Suci itu ditulis agar kita tidak salah membacanya karena ketidaktahuan. Hubungan kita dengan para pendengar menuntut pengenalan terhadap budaya mereka sekaligus budaya kita sendiri. Kita memerlukan hikmat yang diperoleh dari hubungan kita dengan Allah agar kita dapat mendengar firman-Nya dengan benar dan memberitakannya dengan setia—tanpa salah paham, tanpa mendistorsi karena kebutaan budaya, dan tanpa merusaknya dengan menyesuaikannya secara tidak sehat pada budaya pendengar.
Masalah terakhir inilah, menurut saya, yang menjadi tantangan terbesar bagi banyak pengkhotbah masa kini. Sangat mudah untuk melangkah terlalu jauh dari kepekaan budaya—yang seharusnya membantu pendengar dengan memahami cara mereka berpikir, belajar, dan bertumbuh—menjadi bentuk perbudakan budaya, yang menundukkan Alkitab pada kebutuhan yang dianggap penting oleh pendengar, alih-alih membiarkan firman itu menantang cara hidup mereka yang berdosa. Salah satu cara untuk menerima kepekaan budaya tanpa terjebak pada perbudakan budaya adalah dengan mengenal para pendengar Anda sebanyak mungkin. Belajarlah dari mereka, bukan hanya tentang mereka. Biarkan mereka menceritakan kisah mereka. Pelajari sejarah daerah Anda, pola pergerakan penduduk, struktur keluarga, cerita rakyat, dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat Anda.
Mempelajari teks khotbah Anda bersama orang lain dalam kelompok kecil akan membantu Anda mengenali bagian mana yang mungkin akan paling menyentuh pendengar. Itu juga bisa mengungkap bias Anda sendiri. Tak satu pun dari kita boleh berpikir bahwa kita tidak memiliki budaya (acultural) atau melampaui pengaruh budaya (supracultural). Bahkan Alkitab pun tidak acultural. Namun, Alkitab supracultural—yaitu melampaui semua budaya. Seluruh pesannya berbicara kepada semua budaya, termasuk budaya tempat kita berasal dan budaya tempat kita menyampaikan firman itu.
Berelasi secara benar dengan para pendengar menuntut hidup dengan rendah hati dan penuh doa dalam tugas yang tidak mudah—yaitu menyampaikan makna teks dalam konteks aslinya dengan adil, tanpa menguranginya menjadi pesan yang lebih mencerminkan bias budaya kita daripada isi dan maksud Kitab Suci itu sendiri.
Tuhan, jagalah aku agar tidak menjual pesan-Mu demi memuaskan pendengar, atau hanya menyampaikan apa yang ingin mereka dengar. Jagalah juga agar aku tidak menyampaikan pesan yang kubilang dari-Mu tetapi ternyata tidak dapat dipahami atau tidak relevan bagi mereka. Amin.
