Khotbah selalu menjadi pusat kehidupan gereja, baik sebagai sarana pewartaan Injil maupun pembentukan umat Allah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, khotbah menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap setia pada teks Kitab Suci, sekaligus relevan bagi jemaat yang hidup di tengah dunia modern dan postmodern? Pertanyaan ini menjadi latar pemikiran Ahmi Lee dalam bukunya Preaching God’s Grand Drama (Baker Academic, 2019).
Lee melihat bahwa banyak pengkhotbah masa kini berada “di antara dua dunia” homiletika: khotbah tradisional yang menekankan proposisi kebenaran Alkitab, dan khotbah percakapan yang menekankan partisipasi jemaat dalam konstruksi makna. Menurutnya, kedua model ini sama-sama penting, tetapi tidak memadai bila berdiri sendiri. Oleh karena itu, Lee menawarkan pendekatan alternatif yang disebut theodramatic homiletic, yakni memandang khotbah sebagai bagian dari drama besar karya Allah di dalam Kristus190_Preaching God’s Grand Drama.
Latar Belakang
Sejarah khotbah mencatat dua model dominan:
- Homiletika Tradisional (Didaktis)
Model ini dikenal dengan sebutan “three points and a poem”, yaitu khotbah yang bersifat proposisional, deduktif, dan didaktis. Ia menekankan bahwa Alkitab berisi kebenaran tetap, dan tugas pengkhotbah adalah menggali, menyusun, lalu menyampaikan kebenaran itu secara jelas dan logis. Lee menyebut model ini sebagai “Truth Mined, Truth Proclaimed”, dengan metafora herald, banking transfer, golden key, dan still-life picture190_Preaching God’s Grand Drama.
Kekuatan model ini adalah pada kejelasan doktrin, keotentikan teks, dan otoritas Firman. Namun, kelemahannya terletak pada sifatnya yang statis dan satu arah, sehingga jemaat sering diposisikan hanya sebagai penerima pasif. - Homiletika Percakapan (Dialogis)
Model ini muncul dari gerakan New Homiletic sejak 1950-an, dipelopori oleh tokoh seperti Lucy Rose, John McClure, dan O. Wesley Allen Jr. Di sini, khotbah dilihat sebagai “liturgi percakapan” yang mengundang jemaat berpartisipasi dalam pencarian makna. Teks tidak dipandang sebagai sumber tunggal makna, tetapi makna dibentuk bersama oleh komunitas. Lee menyebutnya “Communal Meaning-Making”190_Preaching God’s Grand Drama.
Kekuatan model ini adalah relevansinya dengan pengalaman jemaat, serta membangun rasa kebersamaan. Namun, kelemahannya terletak pada kecenderungan relativisme, bahkan dapat mengaburkan otoritas teks Kitab Suci.
Lee mengamati bahwa banyak pengkhotbah merasa “terjebak di antara dua trapeze epistemologis” – yaitu tarik-menarik antara objektivitas teks dan subjektivitas konteks190_Preaching God’s Grand Drama.
Solusi: Theodramatic Homiletic
Melihat keterbatasan kedua model, Lee mengusulkan pendekatan ketiga, yaitu theodramatic homiletic. Pendekatan ini dipengaruhi oleh pemikiran Hans Urs von Balthasar dan Kevin J. Vanhoozer tentang teologi drama (theodrama).
Beberapa ciri utama pendekatan ini:
- Alkitab sebagai drama agung Allah
Firman Tuhan bukan sekadar proposisi atau bahan percakapan, melainkan narasi besar karya keselamatan Allah. Alkitab adalah “drama” yang sedang berlangsung, dengan Allah sebagai pengarang dan sutradara utama, Kristus sebagai pusat, dan umat sebagai para aktor yang dipanggil berpartisipasi. - Khotbah sebagai performa drama
Khotbah bukan hanya transfer informasi (tradisional) atau percakapan (dialogis), tetapi sebuah performa yang menghidupkan kembali drama Allah di hadapan jemaat. Pendetanya berperan seperti “aktor utama sekaligus sutradara kecil” yang mengundang jemaat masuk ke dalam peran mereka dalam drama Kristus190_Preaching God’s Grand Drama. - Integrasi doktrin dan kehidupan
Lee menekankan pentingnya menyatukan “epik” (kebenaran doktrinal) dan “lirik” (pengalaman eksistensial). Dengan demikian, khotbah tidak kehilangan bobot teologisnya, sekaligus tetap menyentuh kehidupan nyata jemaat. - Arah misi dan transformasi
Tujuan akhir khotbah bukan hanya pengetahuan, tetapi partisipasi jemaat dalam misi Allah di dunia. Khotbah harus mendorong umat untuk hidup sebagai bagian dari cerita besar Allah – “to participate wholly in his initiative and mission”190_Preaching God’s Grand Drama.
Penutup
Preaching God’s Grand Drama memberikan kontribusi penting bagi perkembangan homiletika kontemporer. Ahmi Lee dengan cermat mengkritisi keterbatasan khotbah tradisional dan khotbah percakapan, lalu menghadirkan jalan tengah yang teologis, integratif, dan inspiratif.
Buku ini menolong pengkhotbah melihat khotbah bukan semata sebagai pengajaran atau percakapan, melainkan sebagai tindakan teologis yang dramatis, di mana Allah sendiri mengundang jemaat untuk mengambil bagian dalam drama keselamatan. Dengan demikian, khotbah bukan hanya peristiwa komunikasi, tetapi sebuah performa Injil yang mengubah cara jemaat melihat diri, dunia, dan Allah.
Bagi pendeta, mahasiswa teologi, maupun jemaat yang rindu akan khotbah yang setia pada teks sekaligus relevan dengan konteks, buku ini menjadi bacaan yang sangat berharga. Ahmi Lee mengajak kita semua untuk tidak lagi sekadar “menambang kebenaran” atau “membuat percakapan”, tetapi menghidupkan drama besar Allah di tengah dunia, hingga akhirnya seluruh ciptaan mengambil bagian dalam kemuliaan Kristus yang datang kembali.
