Para ahli Alkitab biasanya merekomendasikan beberapa variasi dari proses penafsiran Alkitab yang terdiri dari sepuluh atau dua belas langkah. Sebagai contoh terbaru, Jason S. DeRouchie dan Andrew David Naselli menganjurkan proses-proses penafsiran yang serupa tetapi sedikit berbeda, yang mengeksplorasi hal-hal berikut ini:

  • genre, (2) kritik tekstual, (3) penerjemahan, (4) tata bahasa, (5) diagram argumen, (6) konteks historis atau konteks historis-budaya, (7) konteks sastra, (8) studi kata, (9) teologi biblika, (10) teologi historis, (11) teologi sistematika, dan (12) teologi praktis.

Dalam satu minggu seorang pendeta, hampir tidak mungkin untuk bergumul selama berjam-jam mengenai masing-masing dari dua belas topik ini – kecuali jika hanya itu yang dilakukan oleh pendeta tersebut! Namun, pengkhotbah yang cerdik akan ingin meluangkan waktu dalam seminggu untuk memikirkan setiap aspek dari proses ini, memberikan prioritas dan waktu yang lebih banyak untuk topik-topik tertentu daripada topik-topik lainnya dalam khotbah yang diberikan. Tujuan dari penafsiran Alkitab bagi pengkhotbah bukanlah untuk menulis sebuah kertas tafsiran setebal lima belas hingga dua puluh halaman, melainkan untuk menulis sebuah khotbah dan mempersiapkan diri untuk berkhotbah.

SEBUAH DUNIA “BIBLIKA” YANG SAMA SEKALI BARU: PERSINGGUNGAN ANTARA STUDI BIBLIKA, TEOLOGI, DAN TEOLOGI PRAKTIS

Pergeseran-pergeseran tertentu dalam kesarjanaan biblika terlihat jelas dalam beberapa dekade terakhir. Pete Ward, dalam bukunya Introducing Practical Theology, mengamati bahwa studi biblika tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan bahwa penafsiran mengundang percakapan dengan disiplin-disiplin ilmu lain seperti teologi, eklesiologi, dan teologi praktis. Secara khusus, Ward menyebut pemupukan silang, seperti sosiologi penafsiran teologis Perjanjian Baru atas Alkitab, dan model-model hermeneutika kolaboratif ketika komunitas-komunitas gereja menafsirkan Alkitab bersama-sama.

Lebih lanjut, Larry W. Caldwell ia definisikan sebagai “penafsiran Alkitab yang dilakukan dalam konteks multigenerasi, multikultural, dan lintas-budaya, serta sedapat mungkin menggunakan metode-metode penafsiran yang dinamis yang telah ada di dalam budaya tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk menafsirkan dan mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran Alkitab dengan cara-cara yang paling baik dipahami oleh budaya penerima.”

Alasan mengapa khotbah itu menarik adalah karena khotbah memadukan semua disiplin ilmu yang penting dalam kehidupan gereja. Khotbah, dalam bentuknya yang terbaik, adalah penyerbukan silang dari studi Alkitab (studi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), teologi (biblika, historis, dan sistematika), dan teologi praktis (konseling, eklesiologi, etika, pelayanan pendidikan, dan homiletika). Meskipun tidak ada cara tunggal, satu-satunya, atau cara yang “terbaik” untuk menafsirkan Alkitab, dan meskipun nuansa denominasi dan teologis tidak dapat dihindari akan membentuk pembacaan kita, dalam bagian selanjutnya dari bab ini, saya ingin menyarankan sebuah proses hermeneutika bagi mereka yang terlibat dalam pekerjaan yang mempertemukan hermeneutika dengan homiletika.

MENUJU MODEL HERMENEUTIKA YANG BERSIFAT OTORITATIF-KULTURAL

Dalam Berkhotbah dengan Kecerdasan Kultural: Memahami Orang-orang yang Mendengar Khotbah Kita, saya merekomendasikan lima langkah proses penafsiran Alkitab untuk berkhotbah dengan menggunakan akronim HABIT (History – Grammatical Literary,  Author’s Cultural, Big Ideal of the text, Interpret in your Context, Theological Presuppositions), yang dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan dalam studi historis, tata bahasa, dan sastra; konteks budaya pengarang; ide besar teks; tafsirkan dalam konteks Anda; dan preposisi teologis.

Saya akan mengikuti pola yang sama di sini ketika saya menguraikan kerangka dasar untuk berpindah dari hermeneutika ke homiletika. Saya sering mengatakan kepada para mahasiswa saya untuk menghindari godaan untuk berpindah terlalu cepat dari hermeneutika ke homiletika. Tetaplah berada di dalam dunia Alkitab selama mungkin untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang ayat-ayat Anda. Bagaimana kita dapat mengkhotbahkan Firman Tuhan jika kita tidak tahu apa yang dikatakan dan artinya? Aturan praktis yang dapat membantu adalah meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk melakukan eksegesis, sama seperti waktu yang Anda gunakan untuk mempersiapkan garis besar dan naskah (misalnya, enam jam untuk eksegesis dan enam jam untuk homiletika).

Related Posts