APA WARNA LENSA BUDAYA ANDA?

Titik tolak dari setiap penafsiran Alkitab yang setia adalah natur dan otoritas teks Alkitab.  Jika seseorang tidak percaya bahwa Firman Allah sepenuhnya dapat dipercaya dan benar, ia akan menganggap Kitab Suci tidak dapat diandalkan – dengan demikian ia akan menganggapnya tidak dapat dijangkau. Firman Allah yang “hidup dan aktif” (Ibr. 4:12) adalah fondasi dari khotbah yang setia, karena Allah telah menyatakan diri-Nya kepada kita di dalam Alkitab. Tanpa menegaskan otoritasnya atas diri kita, bahkan – atau terutama – sang pengkhotbah, maka khotbah kita akan gagal. Ketidakpercayaan terhadap Alkitab akan mengarahkan kita kepada penafsiran-penafsiran yang salah. Apakah Anda ingat apa yang terjadi pada Adam dan Hawa di Taman Eden dalam Kejadian 3? Ular mengajukan pertanyaan yang mengganggu dengan menggunakan empat kata untuk memecah pikiran Hawa dan Adam, “Apakah Allah benar-benar berfirman … ?” Empat kata ini telah mengubah lintasan keberadaan manusia. Kata-kata ini terus memecah belah orang Kristen bahkan sampai hari ini tentang apa yang Allah katakan dalam Firman-Nya. Karena firman Allah itu hidup dan aktif. Lebih tajam dari pedang bermata dua mana pun, firman Allah menembus bahkan sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; firman Allah menghakimi pikiran dan sikap hati.

Sejak tahun 1970-an, kelompok-kelompok advokasi seperti pendekatan feminis dan pembebasan terhadap hermeneutika telah menjadi tren populer yang berusaha memajukan tujuan mereka. Kemudian pada tahun 1990-an, kelompok-kelompok lain muncul, seperti penafsiran pascakolonial dan juga penafsiran LGBT, yang telah memungkinkan komunitas-komunitas yang terpinggirkan. Dalam mempertimbangkan latar belakang sosio-etno-budaya seseorang, hermeneutika lain seperti metode penafsiran Afrika-Amerika, Hispanik-Amerika, dan Asia-Amerika telah muncul ke permukaan dengan mempertimbangkan bagaimana ras, etnis, atau budaya mempengaruhi penafsiran seseorang. Ada pelajaran-pelajaran penting yang dapat kita pelajari dari perspektif-perspektif ini tentang bagaimana Firman Allah berbicara kepada kita masing-masing dalam konteks kita masing-masing. Pada saat yang sama, setiap kali ras, etnis, atau budaya menjadi agenda utama dan lensa utama untuk membaca teks daripada memajukan kerajaan Allah dan menyatakan kabar baik tentang Yesus Kristus, kita menjadi penafsir yang kurang setia terhadap teks tersebut.

Kenyataannya adalah bahwa setiap orang membaca Alkitab melalui lensa tertentu. Lensa ini sering kali berasal dari identitas inti atau identitas dominan seseorang. Kesadaran dan perhatian terhadap perspektif kita sendiri – lensa budaya kita sendiri – dapat menolong kita ketika kita berusaha untuk menafsirkan teks. Masalahnya adalah ketika lensa tersebut mengaburkan atau menghalangi visi kita untuk melihat apa yang Firman Tuhan katakan secara objektif. Sebagian dari tantangannya, seperti yang ditulis oleh Herman Bavinck, adalah bahwa “peperangan melawan Alkitab, pada dasarnya, adalah penyingkapan dari permusuhan hati manusia.” Lalu, apakah pendekatan yang lebih efektif dan setia terhadap penafsiran Alkitab?

Related Posts