“Sesudah Paulus dan Silas melewati Amfipolis dan Apolonia, tibalah mereka di Tesalonika. Di situ ada sebuah rumah ibadat orang Yahudi. Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia berbicara dengan orang-orang di situ berdasarkan Kitab Suci. Ia menjelaskan dan menunjukkan bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati. ‘Yesus yang kuberitakan kepadamu itulah Mesias,’ kata Paulus.”
(Kisah Para Rasul 17:1–3)

Pemberitaan Berdasarkan Kitab Suci

Sungguh disayangkan bahwa ada pendeta-pendeta di gereja-gereja injili yang pernah memberitakan firman secara alkitabiah untuk suatu waktu, tetapi kemudian menjadi lelah karena tidak melihat hasil yang segera terlihat. Kini mereka menggunakan Alkitab hanya sebagai sumber ide dan kisah untuk mendukung agenda pribadi mereka. Para pengkhotbah muda sangat rentan terhadap godaan ini. Begitu juga Timotius, itulah sebabnya Paulus merasa perlu menegaskan hal ini. Dalam 2 Timotius 4:3–5, Paulus menulis:

“Akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat. Sebaliknya, mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut keinginan mereka untuk memuaskan telinga mereka. Mereka akan memalingkan telinga dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu.”

Dalam menyiapkan sebuah khotbah, seorang pengkhotbah tentu bodoh jika mengabaikan audiens. Bagaimanapun juga, pengkhotbah berbicara kepada manusia, bukan hanya menyemburkan kata-kata ke udara. Namun, bahaya yang lebih besar dewasa ini bukanlah mengabaikan audiens, melainkan meninggikan mereka. Hermeneutika yang berpusat pada pendengar membuat godaan ini semakin menarik karena menempatkan pendengar sebagai pihak yang mengendalikan. Alkitab diperlakukan hanya sebagai pemicu cerita-cerita dari pendengar, bukan sebagai firman otoritatif dari Allah.

Tugas kita bukan menyampaikan apa yang ingin didengar oleh pendengar, tetapi apa yang telah Allah firmankan, dan bagaimana itu relevan bagi hidup mereka. Kita memang harus memutuskan dari mana memulai proses itu (apakah mulai dengan menggambarkan masalah terlebih dahulu lalu mengemukakan jawaban alkitabiah, atau menyampaikan kehendak ideal dari Kitab Suci dahulu agar menarik hati pendengar ke arahnya). Kita juga harus memilih bagian mana dari Alkitab yang akan dikhotbahkan pada saat tertentu. Namun tujuan kita haruslah agar pada akhir pelayanan kita, kita bisa berkata seperti Paulus:
“Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu.” (Kisah Para Rasul 20:27)

Kita sama seperti para pendengar kita, karena kita pun tergoda untuk berpegang pada mitos-mitos budaya dan subkultur. Ketika orang-orang dengan telinga gatal mencari pengkhotbah yang memperkuat keyakinan mereka yang salah, kita sering kali ikut merasakannya, sebab kita juga tertarik pada setengah-kebenaran dan distorsi. Bukankah sangat nyaman jika terjadi pujian timbal balik antara jemaat yang puas diri dan seorang pengkhotbah yang meneguhkan pandangan-pandangan mereka yang keliru? Jalan keluar terbaik dari situasi yang mematikan ini adalah agar pengkhotbah memimpin dengan menjaga akal sehat dan terus memberitakan firman.

Kita harus membiarkan Alkitab itu sendiri terus menerus mereformasi cara berpikir kita, menantang cara pandang dunia kita, mengoreksi anggapan-anggapan budaya kita, dan memberi kita perspektif Allah. Ketika ini terjadi, kita akan mampu mengajar, meyakinkan, menegur, menguatkan, dan mendorong saudara-saudari kita seiman untuk bergerak ke arah yang benar. Saya mendorong Anda untuk berketetapan hati agar Alkitab menetapkan agenda khotbah Anda — karena Anda yakin bahwa Allah sendirilah yang menetapkannya — yang dipahami dengan benar dan diberitakan dalam kuasa Roh Kudus — sebagai sarana untuk mencapai tujuan-Nya bagi gereja.

Khotbah alkitabiah bukanlah suatu program yang dicoba selama satu atau dua tahun untuk melihat apakah berhasil. Ini adalah komitmen iman seumur hidup dari seseorang yang telah yakin bahwa inilah yang Allah kehendaki. Walaupun ada banyak bentuk pelayanan firman (termasuk pemahaman Alkitab, literatur Kristen, dan pendidikan tinggi), eksposisi Alkitab dari mimbar memberikan suara kepada firman tertulis Allah dan menjadi contoh penanganan Alkitab yang teliti, sekaligus menetapkan arah dan menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi semua bentuk pelayanan firman lainnya di gereja lokal.

Bapa, aku bersyukur karena ketika aku memutuskan untuk terutama mengkhotbahkan kitab-kitab Alkitab secara eksposisi, Engkau telah membebaskan aku dari berjam-jam kecemasan menyusun seri-seri khotbah yang “cerdas” agar firman-Mu terasa lebih menarik bagi para pendengar. Terima kasih untuk kebebasan yang Engkau berikan untuk sekadar “membuka” firman-Mu kepada mereka yang mendengar. Amin.

Related Posts