“Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus yang dipercayakan untuk mengurus rahasia-rahasia Allah.”
(1 Korintus 4:1)


Kesediaan untuk Melayani

Satu-satunya hal yang penting adalah iman yang bekerja melalui kasih (Galatia 5:6a), dan kasih itu dinyatakan melalui pelayanan (Galatia 5:13).
Pelayanan adalah kebalikan dari sikap rakus yang mau menguasai pendengar kita.

“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah; jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Jangan memerintah dengan sewenang-wenang atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi jadilah teladan bagi kawanan domba itu.”
(1 Petrus 5:2–3)

Kita dapat menunjukkan bahwa kita mendahulukan kepentingan pendengar di atas kepentingan diri sendiri dengan melayani mereka secara nyata.
Salah satu cara paling dasar untuk melayani mereka adalah dengan berbicara dalam bahasa mereka.
Perhatikan bagaimana kesediaan Paulus melakukan hal ini berdampak besar bahkan pada audiens yang sangat bermusuhan:

Paulus menjawab, “Aku orang Yahudi dari Tarsus, di Kilikia, warga kota yang tidak sembarangan. Izinkan aku berbicara kepada orang banyak.”

Sesudah mendapat izin dari perwira itu, Paulus berdiri di tangga dan memberi isyarat dengan tangannya kepada orang banyak. Setelah semua menjadi hening, ia berkata kepada mereka dalam bahasa Ibrani:

“Saudara-saudara dan bapak-bapak, dengarkanlah pembelaanku ini.”

Ketika mereka mendengar bahwa Paulus berbicara dalam bahasa Ibrani, mereka menjadi lebih tenang lagi. (Kisah Para Rasul 21:39–22:2a)


Beberapa pengkhotbah muda (dan juga yang sudah beruban) mudah tergoda menggunakan slang, kata-kata kasar, atau ungkapan populer yang buruk secara tata bahasa untuk mencoba menyatu dengan pendengar mereka. Identifikasi diri memang penting, tetapi bukan dengan mengorbankan kasih dalam pelayanan.

Kita tidak melayani pendengar kita dengan merendahkan kualitas bahasa kita.
Kita adalah duta Raja di atas segala raja, dan bahasa kita seharusnya mencerminkan mandat surgawi itu.

Perhatikan betapa sengaja dan seriusnya Paulus dalam memberikan teladan, bahkan rela melepaskan hak-haknya supaya pendengar tidak tersandung oleh perilakunya. Paulus menjadi teladan hidup yang layak ditiru:

“Atas nama Tuhan Yesus Kristus kami perintahkan kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menjauhi setiap orang yang hidup dengan tidak tertib dan tidak mengikuti ajaran yang telah kamu terima dari kami. Kamu sendiri tahu bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak hidup dengan lalai di antara kamu. Kami tidak makan roti siapa pun tanpa membayar, tetapi kami bekerja keras siang malam, berjerih payah supaya kami tidak menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu. Kami lakukan itu bukan karena kami tidak berhak menerima bantuan, tetapi supaya kami menjadi teladan bagi kamu untuk kamu ikuti. Sebab waktu kami masih bersama-sama dengan kamu, kami memberikan peringatan ini: Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.”
(2 Tesalonika 3:6–10). Teladan hidup Anda berlaku untuk semua hal, termasuk ucapan dan cara bicara Anda.


Tuhan Yesus, aku mengaku bahwa terkadang aku melayani orang-orang yang aku khotbahi tanpa sungguh-sungguh bersedia menyebut diriku sebagai hamba mereka. Aku lebih suka mengontrol. Maka sekali lagi, aku menyerahkan diriku kepada-Mu, supaya Engkau mengajariku untuk melayani dengan sukacita karena aku telah menyerahkan seluruh hakku kepada-Mu. Amin.

Related Posts