“Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.”
(Roma 12:10)


Hormat yang tulus kepada para pendengar adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Mereka akan segera menyadari jika kita merendahkan mereka atau meninggikan diri sendiri. Bahkan kalaupun mereka tidak menyadarinya, Tuhan yang tidak memandang muka tetap akan melihatnya (Maleakhi 2:9; Yakobus 2:1–4).
Lalu bagaimana kita menunjukkan hormat kepada para pendengar kita? Ada banyak cara, dan beberapa di antaranya akan kita bahas dalam renungan ini dan beberapa renungan ke depan.

Kita menunjukkan hormat kepada para pendengar dengan mengakui identitas dan status mereka, serta mengidentifikasi diri kita dengan mereka sejauh mungkin. Dalam kitab Kisah Para Rasul, setiap pengkhotbah selalu berusaha keras untuk menyapa para pendengarnya dengan penuh hormat, bahkan dengan cara yang menunjukkan solidaritas, tanpa menyamakan kelompok-kelompok yang berbeda secara sembarangan.
Contohnya:

  • Petrus menyapa dengan, “Hai orang-orang Yahudi dan kamu semua yang tinggal di Yerusalem” (Kis. 2:14).
  • Stefanus menyapa para penuduhnya dengan sebutan, “Saudara-saudara dan bapak-bapak” (Kis. 7:2).
  • Paulus mendorong orang-orang Yahudi dan para penganut agama Yahudi di Antiokhia untuk “tetap hidup di dalam kasih karunia Allah” (Kis. 13:43), dan ia mengakui bahwa para pendengarnya di Atena adalah orang-orang yang sangat religius (Kis. 17:22).

Pidato dan pembelaan Paulus selanjutnya pun mengikuti pola yang sama: mengakui secara hormat status para pendengarnya, dan sejauh mungkin, menegaskan kesamaan yang dimiliki. Nada hormat seperti ini bukan hanya khas pengkhotbah Kristen, tetapi merupakan standar umum bagi mereka.

Kita juga menunjukkan hormat kepada para pendengar dengan memberi tahu mereka rencana kita, seperti yang dilakukan oleh Paulus:

“Sesudah aku melalui Makedonia, aku akan datang kepadamu — sebab aku akan melalui Makedonia. Mungkin aku akan tinggal di antaramu beberapa waktu lamanya, atau bahkan sepanjang musim dingin, supaya kamu dapat menolong aku untuk melanjutkan perjalananku ke tempat lain. Aku tidak mau hanya mampir sebentar saja sekarang, karena aku berharap dapat tinggal agak lama di antaramu, jika Tuhan mengizinkan. Tetapi aku akan tinggal di Efesus sampai hari Pentakosta, sebab di sini telah terbuka lebar-lebar bagiku suatu kesempatan untuk pekerjaan yang besar dan penting, sekalipun banyak penentang.”
(1 Korintus 16:5–9)

Mungkin bagian ini terlihat tidak ada hubungannya dengan pengkhotbahan. Paulus hanya mengabarkan rencana kunjungannya. Tapi ketika rencananya berubah, ia harus menjelaskan selama tujuh pasal penuh (2 Kor 1–7)! Hal ini menekankan bahwa cara kita memperlakukan pendengar sebelum dan sesudah berkhotbah sangat memengaruhi apakah mereka dapat menerima firman Tuhan dari mulut kita atau tidak.

Salah satu cara praktis untuk menunjukkan hormat kepada pendengar adalah dengan mengomunikasikan rencana khotbah kita jauh-jauh hari.
Sayangnya, beberapa pengkhotbah justru menerapkan pendekatan yang nyaris mistik dalam memilih teks khotbah, dan menundanya sampai menit-menit terakhir.
Sebagian pendengar bahkan menganggap hal ini sebagai tanda spiritualitas yang dalam. Mereka senang jika pengkhotbah membuka khotbahnya dengan menyatakan bahwa teks yang semula dipilih dibatalkan beberapa menit sebelum ibadah dimulai karena Tuhan memberi pengarahan baru secara tiba-tiba.

Memang benar bahwa setiap pengkhotbah harus tetap rendah hati dan siap untuk berubah sesuai dengan pimpinan Roh Kudus, bahkan sampai di saat berkhotbah. Namun, merencanakan dan menyampaikan arah khotbah lebih awal, dengan penuh doa dan kepekaan, akan membantu rekan-rekan pelayanan lainnya, yang juga harus menanti-nantikan Tuhan dalam mempersiapkan elemen liturgi seperti lagu dan pembacaan Alkitab. Tugas mereka menjadi jauh lebih mudah jika mereka tahu teks khotbah lebih awal. Bila seluruh unsur ibadah dikolaborasikan, semua bagian itu bisa saling menguatkan dan menyatu dalam satu arah pesan.


Tuhan, lindungilah aku dari pemikiran yang terlalu tinggi tentang diriku sendiri, sehingga aku gagal menghormati sesamaku sebagaimana seharusnya. Ajarlah aku untuk mengasihi dan menghormati mereka seperti Engkau menghormati dan mengasihi kami. Amin.

Related Posts