Kepada para penatua di antara kamu, aku menasihatkan sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus serta juga sebagai orang yang akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak: Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela, sesuai dengan kehendak Allah; jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri; jangan memerintah dengan keras atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi jadilah teladan bagi kawanan domba itu. Maka apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. Demikian juga kamu yang lebih muda, tunduklah kepada para penatua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, karena: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya.
(1 Petrus 5:1–6)


Ketulusan dan kerendahan hati adalah seperti sepupu dekat. Ketulusan berarti membuat citra dan kenyataan diri kita selaras. Kerendahan hati berarti mengakui kenyataan tersebut kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Topik kerendahan hati dibahas tersendiri di sini karena salah satu dosa yang paling sering menjatuhkan pengkhotbah adalah kesombongan, yang merupakan lawan mutlak dari kerendahan hati. Seperti biasa, Tuhan Yesus adalah teladan utama kita (Filipi 2:5–11). Injil Matius menggambarkan hal ini dengan sangat kuat melalui perkataan Yesus:

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”
(Matius 11:28–30)

Kerendahan hati dan kelemahlembutan berjalan beriringan, sebab pengkhotbah yang rendah hati mampu mengidentifikasi diri dengan umat, yang seringkali “lamban untuk percaya” (Lukas 24:25) dan lamban belajar (Ibrani 5:11). Kita sering merasa konflik dalam hati mengenai hal ini karena kita didorong untuk mengejar pengetahuan (Amsal 10:14; 13:16; 14:18; 18:15; 23:12), namun kita sadar bahwa:

“Pengetahuan membuat orang sombong, tetapi kasih membangun.”
(1 Korintus 8:1)

Kesombongan dan ambisi juga saling terkait. Kita bisa dengan mudah mengira tahu sesuatu padahal tidak tahu. Paulus mengamati hal ini pada guru-guru palsu di Efesus:

“Mereka hendak menjadi pengajar hukum Taurat, padahal mereka tidak mengerti apa yang mereka katakan atau yang mereka kemukakan dengan pasti.”
(1 Timotius 1:7)

Meskipun bercita-cita menjadi penilik jemaat adalah hal mulia (1 Tim 3:1), ambisi akan posisi tidak selalu berasal dari Tuhan. Jauh lebih baik jika kita menegaskan kembali bahwa kita adalah persembahan hidup (Roma 12:1) dan hamba yang rendah yang dipercayakan untuk memberitakan Injil (1 Kor 4:1–5).

Terkadang para pendengar salah paham terhadap peran kita, seperti yang dialami oleh Paulus dan Barnabas di Listra (Kisah Para Rasul 14:11–18) maupun oleh Petrus saat ia mengunjungi rumah Kornelius:

“Ketika Petrus masuk, Kornelius menyambutnya dan tersungkur di depan kakinya untuk menyembah dia. Tetapi Petrus menarik dia sambil berkata, ‘Bangunlah, aku ini hanya manusia saja.’”
(Kisah Para Rasul 10:25–26)

Pengalaman Herodes menjadi peringatan bagi kita tentang bahayanya lamban mengakui posisi kita yang rendah:

“Pada suatu hari yang ditentukan, Herodes, mengenakan pakaian kerajaan, duduk di atas takhtanya dan berpidato kepada rakyat. Rakyat bersorak, katanya: ‘Ini suara allah, bukan suara manusia!’ Seketika itu juga malaikat Tuhan memukul dia, karena ia tidak memuliakan Allah; ia mati dimakan cacing-cacing.”
(Kisah Para Rasul 12:21–23)

Tuan kita bebas menempatkan kita di mana saja, memberikan posisi dan status sesuai dengan kehendak-Nya. Doa dari Richard Alleine, seorang Puritan, yang kemudian dipakai oleh John Wesley, telah membantu banyak orang (termasuk keluarga kami) untuk melihat diri dengan benar. Jadikanlah doa ini sebagai doamu hari ini, seperti yang saya lakukan:

“Aku bukan milikku sendiri lagi, melainkan milik-Mu. Tempatkanlah aku di mana Engkau kehendaki, sejajarkanlah aku dengan siapa saja yang Engkau pilih; suruhlah aku bekerja, suruhlah aku menderita; pakailah aku untuk-Mu atau kesampingkan aku demi Engkau; tinggikan aku untuk-Mu atau rendahkan aku demi Engkau; biarkan aku memiliki segalanya, atau tidak memiliki apa-apa; aku menyerahkan segala sesuatu dengan bebas dan sepenuh hati kepada kehendak dan kebijaksanaan-Mu.”


Tuhan, ajarlah aku untuk rendah hati di hadapan-Mu dan sesamaku. Jauhkan aku dari ambisi pribadi dan keinginan untuk meninggikan diri. Biarlah aku puas hanya menjadi milik-Mu, dan berguna bagi-Mu, dalam cara apa pun yang Engkau kehendaki. Amin.

Related Posts