Sebab aku adalah yang paling hina di antara para rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, karena aku telah menganiaya jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia-Nya yang dianugerahkan kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari mereka semua — namun bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar, dan demikianlah kamu menjadi percaya.
(1 Korintus 15:9–11)


Pendengar sangat merindukan ketulusan. Mereka akan langsung menangkap jika seorang pengkhotbah tidak tulus atau menyalahgunakan firman Allah demi keuntungan pribadi (2 Kor 2:17). Para “pedagang firman” memakai Injil demi memperkaya atau mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri, tetapi pengkhotbah yang tulus meneladani Kristus, yang tidak mencari kepentingan-Nya sendiri, melainkan kepentingan orang lain (Fil 2:5–11). Paulus juga membedakan antara ketulusan dan ambisi egois (Fil 1:17) serta usaha mencari perkenanan manusia (Kol 3:22).

Tidak ada jalan cepat untuk mengatasi kemunafikan, karena sering kali akar-akarnya dalam kesombongan. Kita ingin orang berpikir tinggi tentang kita, sehingga kita membentuk citra diri palsu. Kemunafikan seperti ini — hidup dalam kepalsuan — menunjukkan bahwa kita salah paham mengenai apa yang membuat kita layak berkhotbah. Kita membawa pesan yang sah bukan karena kita tidak berdosa, melainkan karena kita adalah orang berdosa yang telah diampuni (1 Tim 1:15). Hidup kita menunjukkan kelimpahan kasih karunia Allah, bukan kehebatan kita (1 Kor 15:10–11). Identitas kita bukan terletak pada seberapa baik kita, tetapi pada seberapa baik dan penuh kasih karunia Allah itu.

Pengkhotbah yang sadar bahwa Allah sudah mengenal mereka sepenuhnya, bisa hidup dengan tulus di hadapan orang lain. Alih-alih sibuk menjaga penampilan rohani, mereka benar-benar bisa mengejar kekudusan. Pengejaran ini sangat penting dalam pelayanan khotbah, sebab suka atau tidak, orang akan meneladani kita. Benar, Kitab Suci mengundang (1 Kor 11:1), mendorong (1 Kor 4:16), bahkan memerintahkan (Fil 3:17; Ibr 6:12; 13:7) untuk meneladani para pemimpin rohani. Tapi lebih dari itu, peneladanan memang terjadi secara alami (1 Tes 1:4–6; 2:13–14). Jemaat Tesalonika meneladani Paulus dan timnya, serta jemaat-jemaat yang mengutus mereka. Mengapa? Karena Injil datang kepada mereka dengan kuasa sebagai firman Allah, dan mulai bekerja dalam hidup mereka.

Mengingat bahwa firman Allah tidak kehilangan kuasa karena kelemahan kita, seharusnya menjadi penghiburan besar bagi kita yang berkhotbah. Seperti kata Paulus,
“Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.”
(2 Korintus 4:7)

Bahkan ketika pengkhotbah dibelenggu, firman Allah tidak bisa dibelenggu:

“Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati dan yang berasal dari keturunan Daud. Itulah Injil yang kuberitakan, yang karena itulah aku menderita sampai dibelenggu seperti seorang penjahat. Tetapi firman Allah tidak terbelenggu.”
(2 Timotius 2:8–9)

Bahkan ketika pengkhotbah lain memberitakan Kristus dengan motivasi yang meragukan, kita seperti Paulus, tetap bisa bersukacita karena Kristus diberitakan:

“Memang ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan persaingan, tetapi ada pula yang melakukannya dengan niat baik. Mereka yang terakhir melakukannya karena kasih, sebab mereka tahu bahwa aku ada di sini untuk membela Injil. Tetapi yang pertama memberitakan Kristus karena ambisi pribadi dan bukan dengan tulus ikhlas, sebab mereka menyangka dapat menambah kesusahan bagiku dalam penjara. Tetapi apa artinya itu? Asal saja Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur, aku tetap bersukacita.”
(Filipi 1:15–18a)

Namun demikian, kita tetap memiliki utang ketulusan kepada para pendengar kita. Ketulusan seperti ini mungkin terjadi bagi orang yang sudah diampuni dan yang menaruh harapannya dalam Kristus. Daripada menjadi orang munafik dengan hati nurani yang mati rasa (1 Tim 4:2), kita harus:

“Menjadi teladan bagi orang-orang percaya dalam perkataan, dalam tingkah laku, dalam kasih, dalam iman, dan dalam kesucian.”
(1 Timotius 4:12)

Ketekunan yang sungguh-sungguh dalam hidup dan ajaran adalah jalan untuk menyelamatkan para pendengar kita (1 Tim 4:12–16).


Tuhan, aku mengakui bahwa aku sering tergoda untuk menampilkan citra diri yang lebih baik daripada kenyataannya. Berilah aku kesadaran yang mendalam bahwa di dalam Kristus aku telah diterima oleh-Mu dan bahwa Engkau mengetahui segalanya. Tolong aku untuk hidup oleh kasih karunia-Mu dan di hadapan-Mu hari ini. Amin.

Related Posts