Segera pada malam itu juga, saudara-saudara seiman menyuruh Paulus dan Silas pergi ke Berea. Setibanya di sana, mereka pergi ke rumah ibadat orang Yahudi. Orang-orang Yahudi di Berea itu lebih baik hatinya daripada orang-orang Yahudi di Tesalonika, sebab mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian. (Kisah Para Rasul 17:10–11)

Kemungkinan sebagai akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, kita sebagai pengkhotbah cenderung berasumsi bahwa para pendengar berpikir seperti kita. Cobalah mengingat hubungan pertemanan dekat atau pernikahan Anda, maka Anda akan segera sadar bahwa itu tidak benar! Relasi-relasi seperti ini menjadi berkat bukan hanya karena kita belajar dari dan tentang orang lain, tetapi juga karena di dalam proses itu kita belajar sesuatu tentang diri kita sendiri. Sampai hal ini terjadi, kita seperti orang yang tuli terhadap aksennya sendiri dan tidak menyadari bahwa kita bahkan memiliki aksen. Ini persis seperti pengalaman saya ketika pertama kali pindah ke Inggris dari Amerika Serikat. Saya tahu bahwa orang Inggris memiliki aksen, tapi saya pikir saya tidak punya! Mereka segera membetulkan persepsi saya itu.

Baik pembicara maupun pendengar membawa perbedaan masing-masing ke dalam komunikasi lisan. Apa yang berlaku dalam bahasa juga berlaku dalam budaya secara umum. Sampai kita sadar akan kenyataan ini, kita akan tetap tidak sadar terhadap budaya kita sendiri, seperti ikan yang tidak menyadari keberadaan air.

Godaan yang berlawanan dengan menganggap bahwa pendengar kita berpikir seperti kita adalah menganggap bahwa mereka sangat berbeda dan terlalu menekankan perbedaan tersebut. Memang benar bahwa ada perbedaan antara yang tua dan yang muda, antara masyarakat pedesaan dan perkotaan, antara para pemikir “modern” dan “postmodern”, namun mereka semua memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan.

Jika pelayanan firman Anda secara eksklusif ditujukan kepada satu kelompok tertentu, maka apa yang Anda pelajari tentang kelompok itu dapat lebih membentuk pesan dan gaya penyampaian Anda, dibandingkan bila Anda berbicara kepada kelompok yang beragam dari berbagai generasi. Namun pendekatan terbaik adalah menguji setiap asumsi tentang pendengar dengan Kitab Suci, dan berpegang pada hal yang baik. Misalnya, para pemuda postmodern sering dikatakan lebih menghargai keaslian (autentisitas) daripada logika. Namun bukankah keaslian adalah nilai yang alkitabiah yang seharusnya diwujudkan oleh setiap pengkhotbah dalam situasi apa pun, tanpa peduli siapa pendengarnya? Jika Anda meragukannya, bacalah kembali tujuh pasal pertama dari 2 Korintus! Paulus bukan orang munafik; dia sungguh-sungguh tulus dari dalam, dan karena itulah dia bisa menantang mereka yang mengkritik pelayanannya. Dinamika yang sama juga terlihat dalam 1 Tesalonika pasal 1–2.

Tuhan, ketika aku mengamati para pendengarku dan menilai kekuatan serta kelemahan umum mereka, tolong aku agar dapat memakai kepekaan dan penilaian yang berasal dari Roh-Mu, supaya aku tidak terjebak dalam generalisasi palsu yang justru membuatku buta terhadap kebutuhan sejati mereka dan kemampuan mereka untuk menerima firman-Mu. Amin.

Related Posts