Aku bebas terhadap semua orang, tetapi aku telah menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Bagi orang Yahudi, aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku dapat memenangkan orang Yahudi. Bagi mereka yang hidup di bawah hukum Taurat, aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat – sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat – supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat – sekalipun aku tidak bebas dari hukum Allah, melainkan hidup di bawah hukum Kristus – supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang lemah, aku menjadi seperti orang lemah, supaya aku dapat memenangkan orang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian di dalamnya. (1 Korintus 9:19–23)

Kata “budaya” berasal dari bahasa Latin yang berarti “menumbuhkan,” dan dalam bentuk “mengolah” digunakan untuk menumbuhkan tanaman atau mengembangkan pikiran. Seseorang yang kita sebut “berbudaya” biasanya memiliki sopan santun serta wawasan yang luas tentang seni, sastra, dan filsafat. Namun di sini, saya memakai istilah “budaya” dalam arti yang sangat berbeda dan penting, terutama bagi kita yang berkhotbah dalam dunia yang makin terglobalisasi.

Lesslie Newbigin menulis:

Saya telah berbicara tentang “budaya kita” dan sekarang saya harus mencoba menjelaskan maksud dari ungkapan ini. Sebuah definisi kamus yang praktis menyatakan: “Jumlah keseluruhan cara hidup yang dibentuk oleh suatu komunitas manusia dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.” Dengan demikian, budaya mencakup seluruh kehidupan manusia sejauh kehidupan itu dijalani bersama. Ia mencakup ilmu pengetahuan, seni, teknologi, politik, hukum, dan agama suatu kelompok. Hal mendasar dalam setiap budaya adalah bahasa yang merangkum cara suatu masyarakat memahami dan mengatasi pengalaman serta membagikannya satu sama lain. Selama kita hidup dalam satu budaya, kita nyaris tidak menyadari bagaimana bahasa membentuk kerangka untuk menempatkan pengalaman itu – laksana kacamata yang kita pakai untuk “melihat.”1

Maka, bahkan kita yang tidak pernah disebut sebagai orang yang “berbudaya” sebenarnya hidup dalam satu atau lebih budaya. Bahkan antara orang-orang dari budaya yang tampaknya serupa pun masih terdapat jarak budaya (kadang cukup besar). Misalnya, saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di Amerika Serikat, sementara istri saya lahir dari orang tua Inggris dan tumbuh di Afrika Timur. Kami berdua harus belajar mengenali dan menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya di antara kami.

Pengkhotbah perlu menyadari bahwa kita membawa budaya kita masing-masing dalam setiap relasi, yang tidak identik dengan budaya orang lain. Ini bukan tantangan baru. Pada abad ke-4 Masehi, Agustinus menggunakan konsep budaya untuk menjelaskan mengapa bahkan penafsir Alkitab yang saleh bisa menganggap suatu perintah sebagai kiasan, bukan literal:

Namun karena manusia cenderung menilai dosa bukan berdasarkan hakikat dosanya, tetapi berdasarkan kebiasaan masyarakatnya, maka sering kali seseorang menganggap sesuatu tidak berdosa hanya karena masyarakat sekitarnya tidak mengutuknya, dan memuji sesuatu hanya karena itu lumrah di lingkungannya. Maka jika Kitab Suci memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan pendengarnya, atau mengecam sesuatu yang sebenarnya lazim, dan jika firman itu memiliki otoritas bagi hati mereka, maka mereka akan menganggapnya sebagai kiasan.2

Dalam beberapa dekade terakhir, para sarjana Alkitab, teolog, dan misionaris telah banyak memikirkan persoalan budaya ini.3 Meski hal ini kompleks, kita yang berkhotbah perlu ingat bahwa kita berdiri di antara teks Kitab Suci dan para pendengar kita – menjembatani keduanya dengan menyampaikan pesan Alkitab dalam kata-kata yang dapat mereka pahami, terima, dan taati dengan iman.

Teks Alkitab, meskipun tidak terikat budaya, tetap ditulis dalam konteks budaya tertentu. Itulah budaya pertama. Kita membaca Alkitab dari sudut pandang budaya kedua, yakni budaya kita sendiri yang terpisah dari para penulis Alkitab karena waktu dan konteks. Para pendengar kita mewakili budaya ketiga yang mungkin mirip atau sangat berbeda dari kita. Bahkan saat dan di mana pun kita berkhotbah, hampir pasti ada beberapa pendengar yang berasal dari budaya berbeda dengan kita – dan dengan sesama pendengar lainnya.

Kita perlu dengan rendah hati dan dalam doa meminta agar Tuhan menyadarkan kita akan “buta budaya” kita sendiri, yang bisa membuat kita gagal melihat isi teks Alkitab secara tepat. Dan karena kita mengasihi para pendengar kita, kita akan memakai kata-kata, ungkapan, dan gambaran yang masuk akal dalam budaya mereka saat kita berkhotbah. Kita akan berusaha menempatkan diri di posisi mereka saat menguraikan implikasi dari firman Tuhan. Misalnya, kita tidak akan membahas dampak sebuah teks terhadap masyarakat teknologi modern jika kita sedang berkhotbah kepada jemaat pedesaan yang minim akses pendidikan.

Tuhan, karena budayaku sendiri telah membentuk cara berpikir dan menilai segala sesuatu, aku sering bertanya-tanya apakah aku benar-benar sadar akan pengaruh budaya itu – seperti ikan yang tak menyadari air tempat ia hidup. Dan semakin sering aku berinteraksi dengan orang dari tempat lain, semakin aku sadar betapa sedikitnya pemahamanku akan mereka. Aku hanya bisa menebak bahwa banyak hal yang kupikir telah kujelaskan dengan gamblang, ternyata tidak dimengerti dengan jelas. Tolong aku untuk menyatakan kasihku kepada para pendengarku dengan mempelajari dunia mereka dan belajar memahami cara mereka berpikir. Amin.

Related Posts