Para rasul berkata kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!” (Lukas 17:5)
Kita Percaya dan Karena Itu Kita Berbicara
Ayat yang bagi saya merangkum bagaimana seharusnya kita yang berkhotbah menerapkan semua gambaran dan deskripsi alkitabiah tentang firman adalah dari kesaksian Paulus tentang pemberitaannya:
Seperti ada tertulis: “Aku percaya, sebab itu aku berkata-kata.” Karena kami memiliki roh iman yang sama, maka kami juga percaya dan karena itu kami berkata-kata. Sebab kami tahu bahwa Ia yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga bersama Yesus dan menghadapkan kami bersama-sama dengan kamu kepada-Nya. Semua ini terjadi demi kamu, supaya kasih karunia yang makin melimpah karena makin banyak orang yang menerimanya, semakin melimpahkan syukur bagi kemuliaan Allah. (2 Korintus 4:13–15)
Paulus mengutip terjemahan Septuaginta dari Mazmur 116:10 untuk menegaskan hubungan antara percaya dan berkata-kata. Terjemahan LAI dari ayat ini berbunyi: “Aku percaya, sekalipun aku berkata: ‘Aku ini sangat tertindas.’” Seperti pemazmur, Paulus pun mengenal penderitaan. Seperti pemazmur, ia tetap berkata-kata. Pemazmur berbicara kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan kepada para pendengarnya. Paulus, dengan iman kepada kebangkitan Kristus dan semua orang yang ada di dalam-Nya, berbicara atas nama Allah, membawa harta Injil dalam “bejana tanah liat” dari tubuhnya, supaya kelemahannya justru menampakkan kuasa Allah demi kemuliaan Allah. Seandainya Paulus tidak percaya, ia tidak akan berbicara.
Ketika kita yang berkhotbah gagal untuk percaya pada semua yang ditulis para nabi dan rasul tentang Kitab Suci, kita cenderung enggan berbicara dalam nama Kristus, karena memberitakan firman tampak seperti senjata yang lemah, respons yang tidak memadai terhadap tantangan besar dunia ini. Tentu saja kita harus menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar, tetapi peran khusus kita dalam tubuh Kristus adalah menjadi penyampai firman itu. Bila keraguan akan kuasanya mengurangi harapan kita atas apa yang dapat dicapainya, kita akan mulai mencurahkan energi terbaik kita untuk hal-hal selain berkhotbah.
Kabar baiknya adalah bahwa kita dapat bertobat dari ketidakpercayaan. Kebanyakan dari kita bisa menggemakan kata-kata ayah yang sedih dalam Markus 9:24, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” Kita bisa “ditolong” keluar dari ketidakpercayaan. Yang penting bukanlah seberapa besar atau seberapa berkualitas iman kita, melainkan siapa objek iman kita. Kita tidak dipanggil untuk memiliki iman yang besar. Bahkan iman sekecil biji sesawi, bila ditempatkan pada objek yang layak, sudah cukup. Kitab Suci adalah firman Allah, dan kita dapat mempercayainya untuk melakukan apa yang diklaim Allah atasnya.
Sebagian orang mungkin meremehkan keputusan terkenal Billy Graham untuk mempercayai Alkitab sebagai firman Allah. Namun keputusan seperti itu bukanlah tindakan anti-intelektual. Kepercayaan pada firman Allah justru membuka pintu untuk kerja keras dalam mempelajarinya dan menaati-Nya. Sebaliknya, kegagalan mempercayainya akan mendorong kita mencari cara lain untuk membangun gereja.
Karena iman bukan sesuatu yang statis, kita perlu menilai kepercayaan kita kepada firman Allah secara berkala. Tetapi pertanyaannya tetap: dengan mengandaikan bahwa Anda dan saya mempercayai firman Tuhan sebagaimana adanya, maka apa yang akan menjadi ciri khas hubungan kita dengan firman-Nya? Kepercayaan adalah dasar. Tetapi kita juga akan mengasihi dan menghormatinya, tunduk kepadanya, mendekatinya dengan kerendahan hati, serta belajar, melayani, dan menjaganya. Setiap respons ini muncul dari hubungan kita dengan Allah. Saya tidak menganjurkan penyembahan terhadap firman itu sendiri, tetapi kemuliaan bagi Allah. Meninggikan Allah berarti berpikir tinggi tentang firman-Nya.
Sebelum melanjutkan membaca, luangkan waktu sejenak untuk bersama saya memohon kepada Allah agar memperbaiki ketidakpercayaan yang mungkin menghambat pelayanan kita dalam firman-Nya. Lalu, saat Anda merenungkan bagian-bagian selanjutnya, nilailah secara doa dan jujur bagaimana respons Anda terhadap firman-Nya.
Tuhan yang penuh kasih karunia, aku mengakui bahwa aku percaya pada kebenaran firman-Mu dan mempercayai Engkau untuk menyampaikan kebenaran melalui firman itu serta menggunakannya untuk menguduskan aku dan mereka yang kepada siapa aku memberitakan. Namun aku juga harus mengakui bahwa terkadang kepercayaanku lemah. Bahkan ada kalanya kepercayaanku tersesat. Aku tergoda untuk mempercayai usahaku sendiri, kemampuanku, kecerdasanku, atau bahkan rekam jejak kesetiaanku di mimbar. Tolong aku, ya Tuhan, untuk hanya percaya kepada-Mu dan menyatakan iman itu melalui keyakinan yang semakin bertumbuh bahwa Engkau akan memakai firman-Mu dan pemberitaanku, meskipun khotbahku lemah, sebab kekuatan-Mu sempurna dalam kelemahanku. Amin.