“Jadi, apakah Apolos itu? Apakah Paulus? Mereka hanyalah pelayan-pelayan, yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Yang menanam dan yang menyiram adalah sama; masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan jerih payahnya.” (1 Korintus 3:5–8)
Alkitab adalah Benih yang Tidak Dapat Binasa
Ketika Petrus ingin mendorong orang-orang Kristen yang tersebar agar hidup sesuai dengan status baru mereka sebagai anak-anak Allah, ia mengingatkan mereka akan kelahiran baru mereka, dan apa yang Allah pakai untuk mewujudkannya:
“Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu sungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu. Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah yang hidup dan yang kekal. Sebab:
Semua yang hidup adalah seperti rumput, dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput. Rumput menjadi kering dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.
Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.”
(1 Petrus 1:22–25)
Hidup kita ini singkat. Kita layu dan gugur seperti bunga dan rumput. Tetapi apa yang kita beritakan adalah firman Tuhan, sebuah firman yang tetap untuk selama-lamanya.
Firman itu menghidupkan kembali orang berdosa, memberikan mereka kelahiran baru ke dalam keluarga Allah yang kekal, dan siapa yang telah lahir ke dalam keluarga ini tidak akan pernah dikeluarkan.
Sebagai pengkhotbah, kebanyakan dari kita ingin berbicara kepada realitas kehidupan masa kini. Kita tidak ingin merasa seperti barang museum, fosil, atau peninggalan zaman dahulu (meski, sedihnya, saya pernah bertemu dengan beberapa yang justru bangga dengan hal itu dan menjadikannya lencana kehormatan). Keinginan untuk berbicara kepada sesama generasi kita adalah hal yang benar, wajar, dan normal. Lagi pula, mereka yang hidup di masa lalu sudah tiada, dan yang akan datang belum tiba!
Namun, keinginan menjadi relevan bagi orang sezaman bisa menjadi jebakan jika membuat kita meninggalkan atau memutarbalikkan firman Allah. Ini terjadi dengan sangat sering. Pengkhotbah mengurangi penekanan pada salib, mengaburkan otoritas Alkitab, memperlonggar batas-batas keselamatan, atau meremehkan pengetahuan Allah atas segala sesuatu. Hal yang perlu kita ingat dan syukuri adalah bahwa kita tidak perlu mengubah firman untuk menjadi relevan, justru karena firman itu kekal. Firman itu bersifat abadi. Firman itu berbicara kepada setiap generasi, karena ia tidak berubah. Sama halnya, Allah dan kondisi dasar manusia tidak berubah.
Ketahanan firman, yang berakar pada kekekalan Allah, berarti kita tidak perlu mencari pesan baru untuk zaman kita. Jadi, apa yang boleh kita ubah dibandingkan dengan generasi pengkhotbah sebelumnya?
Kita boleh mengubah titik masuk Injil, karena kebutuhan yang dirasakan oleh orang-orang pada masa kini memang berubah. Kita boleh memakai kebutuhan-kebutuhan ini sebagai pintu masuk menuju kebutuhan sejati yang tak berubah dari setiap manusia di sepanjang zaman. Kita boleh mengubah format khotbah, panjangnya, cara kita mengilustrasikan kebenaran Alkitab, cara kita mengajak orang menanggapi, waktu dan hari kita berkhotbah. Kita boleh mengubah alat bantu visual dan audio, apa yang kita kenakan, dan bahkan gaya rambut kita.
Perubahan-perubahan ini boleh dilakukan; tetapi yang tidak boleh diubah adalah isi dari firman Allah itu sendiri. Misalnya, ketika Allah berkata bahwa Ia membenci perceraian (Maleakhi 2:16), kita tidak berhak mengubah sikap-Nya agar sesuai dengan praktik masa kini. Ketika Allah berkata bahwa Ia mengasihi kebenaran (Mazmur 33:5), kita tidak boleh menggambarkan kasih itu sebagai sekadar preferensi ringan. Ketika Roma 3:9–20 menyusun argumentasi Alkitab tentang dosa yang universal, kita tidak boleh melemahkan itu hanya demi membela dosa suatu zaman, kelompok, atau individu. Bahkan, keseimbangan dan nada keseluruhan Kitab Suci harus membentuk rencana pengkhotbahan kita.
Mengingat peran kita sebagai “tukang kebun” di ladang Allah adalah hal yang membebaskan. Kita adalah penabur benih. Ya, memang ada gulma yang harus dicabut dan penyiraman yang harus dilakukan, tetapi benih yang tidak dapat binasa itu hidup, dan dalam tanah yang baik, ia akan tumbuh dan berbuah. Tugas kita adalah menabur benih yang baik, dan percaya bahwa benih itu akan berakar dan berbuah.
Doa:
Terima kasih, Tuhan, untuk benih firman yang baik. Tolong aku untuk menaburkannya dengan limpah dan mengharapkan panen yang limpah juga. Amin.