“Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan.”
(Amsal 6:23)

Alkitab Adalah Pelita

Lagu lama Thy Word telah menanamkan dengan indah ayat Mazmur 119:105 di hati banyak dari kita:

“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”

Allah memberikan kita Alkitab untuk menunjukkan jalan, yakni jalan ketaatan. Meskipun gambaran tentang pelita tidak terbatas hanya pada aspek etika, aspek inilah yang utama dalam Mazmur 119 dan juga di tempat lain.

Banyak dari kita sering menganggap remeh berkat dari cahaya buatan. Namun, saya telah cukup sering menginap di tempat-tempat terpencil seperti kamp, hotel, pusat konferensi, dan asrama untuk tahu betapa berbahayanya berjalan dalam kegelapan di tempat asing, terutama di malam hari. Kita adalah orang asing dan pendatang (1 Petrus 2:11) yang hidup di dalam dunia yang gelap (Efesus 6:12), tetapi kita telah dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9). Kita dipanggil untuk hidup dalam terang (1 Yohanes 1:7), dan Alkitablah yang menunjukkan kepada kita bagaimana caranya. Ia menyatakan langkah ketaatan selanjutnya yang perlu kita ambil.

Namun, cahaya tidak ada gunanya jika kita mengabaikannya. Petrus memperingatkan pembacanya agar tidak lalai:

“Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya jika kamu memperhatikannya, sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat gelap, sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.”
(2 Petrus 1:19)

Beberapa pengkhotbah tidak memberi perhatian cukup terhadap isi etika Alkitab karena takut dianggap legalistik, atau karena salah memahami peran ketaatan dalam terang Injil. Saya menduga ada juga dari kita yang tidak membiarkan terang firman Allah menyinari jalan jemaat karena kebingungan dalam memakai hukum-hukum Perjanjian Lama. Kita khawatir akan mengagungkan sesuatu yang, menurut Ibrani 8:13, telah menjadi usang karena sudah digenapi dalam karya Kristus.

Walaupun pembedaan antara hukum moral, hukum sipil, dan hukum seremonial bisa membantu, tetapi batas-batas ini tidak selalu mudah dikenali. Bahkan, bisa membuat kita mengabaikan bagian-bagian Alkitab secara keseluruhan. Dipandu oleh sebagian reformator Protestan, saya mendapati bahwa hukum memiliki tiga fungsi penting:

  1. Menyatakan karakter Allah,
  2. Menjadi penuntun yang membawa orang kepada Kristus, dan
  3. Menjadi pedoman dalam ketaatan.

Sebagai contoh, Allah tetap membenci penyembahan berhala. Ketika kita melihatnya mulai menyusup kembali ke dalam kehidupan umat Allah, kita perlu menguji diri kita: apakah kita juga bersalah dalam hal itu? Paulus bahkan menyebut keserakahan sebagai bentuk penyembahan berhala dalam Kolose 3:5—suatu contoh bagaimana memakai Perjanjian Lama dengan tepat.

Setiap kali kita berkhotbah, kita harus mengharapkan firman Allah akan menyingkapkan dosa, membawanya keluar ke terang. Karena itu, tidak peduli seberapa positif teks yang kita bahas, gali juga dosa-dosa yang tersirat dalam deskripsi tentang kebenaran. Peringatan dan teguran dalam teks tentu akan mempermudah tugas ini, karena tidak perlu penafsiran tambahan—hanya tinggal mengontekstualisasikannya. Kemudian, setelah menyampaikan kabar buruk tentang dosa, tuntun jemaat kembali ke jalur ketaatan Injil.

Doa:
Tuhan, lindungilah aku agar jangan menjadi seperti mereka yang mencari kegelapan dan bukan terang, karena perbuatan mereka jahat. Sebaliknya, tariklah aku kepada terang, supaya ketika terang itu menyingkapkan dosaku, aku mau mengakuinya dan bertobat. Amin.

Related Posts