“Imam besar Hilkia berkata kepada panitera Safan: ‘Aku telah menemukan kitab Taurat di rumah TUHAN.’ Lalu Hilkia memberikan kitab itu kepada Safan, dan Safan membacanya. Kemudian panitera Safan pergi menghadap raja dan melaporkan: ‘Uang yang terdapat di rumah TUHAN telah diberikan kepada para pekerja dan pengawas pekerjaan di rumah TUHAN.’ Selanjutnya Safan berkata kepada raja: ‘Imam Hilkia telah memberikan sebuah kitab kepadaku,’ lalu Safan membacakannya di hadapan raja. Ketika raja mendengar perkataan dari kitab Taurat itu, dikoyakkannyalah pakaiannya. Kemudian raja memberi perintah kepada imam Hilkia, Ahikam bin Safan, Akhbor bin Mikha, Safan panitera dan Asaya pegawai raja: ‘Pergilah, tanyakanlah petunjuk TUHAN untuk aku, untuk bangsa ini dan untuk segenap Yehuda tentang perkataan kitab yang ditemukan ini. Sebab besar murka TUHAN yang menyala-nyala terhadap kita, oleh karena nenek moyang kita tidak mendengarkan perkataan kitab ini dan tidak bertindak sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya tentang kita.’”
(2 Raja-raja 22:8–13)

Alkitab Adalah Cermin dari Allah

Yakobus sangat ingin agar orang-orang Kristen yang tersebar dan kepada siapa ia menulis dapat memperoleh manfaat dari Alkitab. Ia meyakini bahwa Alkitab adalah sarana Allah untuk melahirkan kembali umat-Nya melalui pekerjaan Roh (Yak 1:18). Maka dari itu, respons kita terhadap firman adalah menerimanya dengan rendah hati, bertobat dari segala kenajisan dan kejahatan moral (1:19–21), dan memandang ke dalam firman kebenaran seperti seseorang bercermin:

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang memandangi mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi, atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya—jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya—ia akan berbahagia oleh perbuatannya.”
(Yakobus 1:22–25)

Yakobus memulai dengan memberi contoh yang tidak ia anjurkan: orang yang hanya mendengar firman tapi tidak melakukannya, seperti seseorang yang melihat wajahnya di cermin tetapi tidak merapikan rambut kusutnya atau mencukur wajahnya yang belum bersih, lalu pergi dan melupakan kondisi dirinya. Cermin itu menunjukkan sesuatu yang perlu diperbaiki, tetapi ia mengabaikannya.

Alkitab, seperti yang kita lihat dalam 2 Timotius 3:16–17, menunjukkan apa yang perlu dikoreksi. Setiap kali kita membaca Alkitab atau memberitakannya dengan setia, kita sedang mengangkat cermin yang luar biasa—bukan hanya untuk menunjukkan apa yang tampak dari luar, tetapi untuk membongkar kedalaman hati kita seperti yang dilihat Allah. Dan yang ditunjukkan-Nya sering kali menyakitkan: sisa-sisa perbuatan daging, celah bagi Iblis, kompromi dengan dunia, bahkan kemunafikan dan berhala hati.

Jika kita mengabaikan pandangan dari cermin itu dan melanjutkan hidup seolah tidak ada yang salah, maka kita tidak sedang memperlakukan Alkitab sebagaimana seharusnya.

Dalam ayat 25, Yakobus menjelaskan bagaimana seharusnya kita memperlakukan Alkitab. Karena Alkitab adalah hukum yang sempurna dan memerdekakan, maka kita tidak akan rugi apa pun jika kita merendahkan diri dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakannya. Bukan hanya menunjukkan kekurangan, tetapi juga menyediakan jalan pertobatan, ketaatan, dan berkat. Kita diajak untuk tidak melupakan, tetapi menghidupi firman itu—dengan iman kepada anugerah Allah.

Saat saya berkhotbah, saya sering mengangkat Alkitab menghadap jemaat, dengan halamannya yang terbuka. Saya katakan bahwa ini adalah cermin dari Allah, dirancang sempurna agar kita bisa melihat diri kita sebagaimana Allah melihat kita. Lalu saya mengundang mereka untuk menjadi pendengar yang mengingat dan melakukan firman, dan karena itu mengharapkan berkat melalui ketaatan.

Banyak pendengar zaman sekarang bingung membedakan antara ketaatan injili yang disiplin dengan legalisme. Mereka berpikir bahwa jika mereka dengan sungguh-sungguh memutuskan untuk menaati perintah Allah, maka itu artinya mereka bersandar pada perbuatan untuk keselamatan. Kita perlu menjelaskan bahwa perbuatan baik adalah bagian dari respons kita kepada Allahbukan dasar hubungan kita dengan-Nya, tetapi buah dan bukti dari hubungan itu.

Kesalahpahaman lain adalah bahwa perbuatan baik akan terjadi otomatis tanpa usaha dari pihak orang percaya. Tapi itu tidak benar. Ingat kata-kata Paulus dalam Filipi 2:12–13:

“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sebagaimana kamu senantiasa taat—bukan saja waktu aku masih hadir, tetapi sekarang lebih lagi waktu aku tidak hadir—kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar; karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.”

Karena Allah bekerja dalam diri kita melalui Roh-Nya, maka kita mampu taat. Tapi perintah untuk taat tetap harus ditaati. Kita tidak bisa mengharapkan orang lain menghargai perintah Allah jika kita sendiri tidak melakukannya. Kita yang berkhotbah melayani jemaat dengan baik jika kita sendiri melakukan apa yang Alkitab ajarkan. Ketaatan yang konsisten sangatlah penting.

Doa:
Terima kasih, Tuhan, karena Engkau menolongku melihat diriku seperti Engkau melihatku. Anugerahkanlah pertobatan dari kesombongan atau sikap meremehkan karya Roh-Mu dalam hidupku. Terima kasih karena sebanyak apa pun pembaruan yang diperlukan, cermin firman-Mu selalu disertai dengan anugerah dan belas kasih yang cukup untuk mengubahku. Amin.

Related Posts