“Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba Kristus, yang dipercayakan untuk menyampaikan rahasia Allah.”
(1 Korintus 4:1)
Kita Melayani sebagai Budak
Hamba-hamba Allah melayani mereka yang dipanggil oleh Sang Tuan untuk mereka layani. Kolose 1:24–25 menggambarkan dinamika hubungan ini:
“Sekarang aku bersukacita karena aku boleh menderita karena kamu, dan apa yang masih kurang dalam penderitaan Kristus, aku lengkapi dalam dagingku untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat. Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan firman Allah sepenuhnya kepada kamu.”
Kita melayani jemaat dan dunia karena kita adalah hamba-hamba yang diutus oleh Allah. Kita berada dalam posisi ini bukan karena keputusan kita sendiri, tetapi karena Kristus telah membeli kita. Paulus tidak ragu menyebut dirinya sebagai hamba atau budak Kristus (Roma 1:1; Titus 1:1), dan ia menegaskan bahwa posisi rendah ini adalah sesuatu yang telah diberikan kepadanya (1 Korintus 3:5; 1 Timotius 1:12; Kisah Para Rasul 20:24; 2 Korintus 5:18). Ia mendorong jemaat untuk memandang dia dan para pelayan lainnya sebagai “hamba Kristus dan pengelola rahasia Allah” (1 Korintus 4:1).
Menariknya, Lukas memakai kata Yunani untuk “hamba” dalam catatannya mengenai kisah pertobatan dan panggilan Paulus:
Lalu aku bertanya, ‘Siapakah Engkau, Tuhan?’
Dan Tuhan menjawab, ‘Akulah Yesus, yang engkau aniaya itu. Tetapi bangunlah dan berdirilah. Aku menampakkan diri kepadamu untuk menetapkan engkau sebagai pelayan dan saksi tentang apa yang telah kaulihat daripada-Ku dan tentang apa yang akan Kuperlihatkan kepadamu.’
(Kisah Para Rasul 26:15–16)
Paulus melihat dirinya sebagaimana Yesus melihat dia. Itulah identitasnya sejak hari itu.
Menjadi seorang hamba berarti mengikuti Yesus, bukan hanya menyebut diri dengan nama yang Ia berikan:
“Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku; dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.”
(Yohanes 12:26)
Dalam konteksnya, mengikuti Yesus berarti mengikuti Dia sampai ke salib. Seperti biasa dalam Perjanjian Baru, jalan menuju kemuliaan adalah melalui penderitaan, dan Bapa menghormati mereka yang melayani Yesus.
Melayani Yesus juga berarti bertanggung jawab. Dalam Lukas 12:35–48, Yesus menyampaikan dua perumpamaan tentang hamba dan tuan. Dalam yang pertama, sang tuan kembali dari pesta pernikahan dan mendapati para hambanya berjaga dan siap. Sang tuan pun mengenakan pakaian seorang hamba dan mulai melayani mereka! Dalam yang kedua, seorang hamba diberi tanggung jawab untuk memberi makan hamba-hamba lainnya. Jika tuan kembali dan mendapati hamba itu menjalankan tugasnya, maka ia akan diberi promosi dan tanggung jawab lebih besar. Namun, jika hamba itu menggunakan kekuasaannya untuk menindas sesama hamba dan hidup memuaskan dirinya sendiri, maka kedatangan mendadak sang tuan akan membawa hukuman berat.
Menjadi hamba Yesus berarti perilaku kita harus selaras. Paulus menyatakan bahwa, “hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar ketika disakiti” (2 Timotius 2:24). Namun, tidak bertengkar hanyalah salah satu dari banyak karakteristik yang diperlukan:
“Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan bahwa kami adalah hamba Allah: dalam ketekunan yang besar, dalam penderitaan, kesesakan dan kesulitan, dalam pukulan, penjara dan kerusuhan, dalam kerja keras, berjaga-jaga dan berpuasa; dalam kemurnian, pengetahuan, kesabaran dan kebaikan hati; dalam Roh Kudus dan kasih yang tulus; dalam perkataan yang benar dan dalam kuasa Allah; dengan senjata-senjata kebenaran di tangan kanan dan kiri; dalam kemuliaan dan kehinaan, dalam nama baik dan nama buruk; sebagai penipu, namun jujur; sebagai orang tak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang hampir mati, namun tetap hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak dibunuh; sebagai orang berduka, namun selalu bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa, namun memiliki segala sesuatu.”
(2 Korintus 6:4–10)
Tidak mengherankan jika Paulus berkata bahwa ia melayani Allah dengan hati nurani yang murni (2 Timotius 1:3).
Akhirnya, menjadi hamba Allah bukan hanya soal tugas dan tanggung jawab. Kita telah melihat janji kehormatan (Yohanes 12:26) dan kesempatan untuk melayani lebih besar. Menjadi hamba juga membawa berkat persekutuan, seperti saat Paulus menyebut Epafras sebagai “rekan pelayan”-nya (Kolose 1:7). Dan ada penghiburan dalam keyakinan bahwa Sang Tuan memperhatikan hamba-hamba-Nya, seperti yang Paulus nyatakan dalam Kisah Para Rasul 27:23: “Malam tadi seorang malaikat dari Allah, yang aku miliki dan yang aku layani, berdiri di sisiku.” Dukungan ini bukan semata-mata, atau bahkan terutama, bersifat fisik. Apa yang diminta oleh gereja mula-mula dari Allah adalah dukungan rohani: “Sekarang, ya Tuhan, lihatlah ancaman-ancaman mereka dan berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu dengan penuh kuasa.” (Kisah Para Rasul 4:29)
Doa:
Bapa, terus terang ada hari-hari di mana aku berharap kata-kata dalam bahasa Inggris tidak kehilangan makna awalnya. Aku ditahbiskan dalam pelayanan Injil. Seorang minister seharusnya adalah seorang pelayan, namun istilah itu kini tampaknya telah kehilangan maknanya. Sekarang, istilah itu bisa berarti posisi kehormatan, bahkan kekuasaan. Tolonglah aku untuk sedemikian menghidupi firman-Mu, sehingga ketika kata-kata kehilangan maknanya, aku akan menyadarinya dan tetap memeluk panggilanku sebagaimana Engkau mendefinisikannya, bukan sebagaimana budaya menafsirkannya. Aku memohon ini dalam Nama Yesus. Amin.