Buku “Preaching Re-Imagined: The Role of the Sermon in Communities of Faith” karya Doug Pagitt adalah refleksi radikal terhadap praktik berkhotbah di gereja, khususnya dalam konteks komunitas iman yang sedang mengalami perubahan dalam budaya, komunikasi, dan pemuridan. Pagitt mengajak gereja untuk melepaskan model khotbah tradisional satu arah (“speaching”) dan berpindah ke model dialog yang dinamis dan partisipatif, yang disebutnya sebagai “progressional dialogue.”
RINGKASAN INTI
1. Masalah Utama: “Speaching”
Pagitt menciptakan istilah “speaching” untuk menggambarkan gaya berkhotbah tradisional: satu arah, dikendalikan sepenuhnya oleh pengkhotbah, dan tidak memberi ruang dialog atau perubahan. Masalahnya bukan hanya pada metode, tetapi pada relasi tidak sehat antara pengkhotbah, jemaat, dan isi kotbah. Beberapa dampak negatif dari “speaching”:
- Menciptakan satu otoritas kebenaran (hanya dari mimbar).
- Menyederhanakan pesan Injil jadi “satu suara.”
- Menempatkan Alkitab sebagai alat pembenaran, bukan suara yang hidup dalam komunitas.
- Menjadikan jemaat pasif, bukan partisipan dalam pembentukan iman.
2. Solusi: Progressional Dialogue
Alternatifnya adalah model dialog progresif, di mana isi khotbah terbentuk melalui interaksi, keterlibatan jemaat, diskusi terbuka, dan perubahan berdasarkan relasi. Contoh praktik ini ada dalam:
- Persiapan khotbah kolaboratif bersama anggota jemaat.
- Diskusi terbuka dalam ibadah setelah atau selama khotbah.
- Melibatkan suara jemaat sebagai “pemberita kabar baik” satu sama lain.
STRUKTUR DAN POKOK BAHASAN
Berikut ini adalah poin-poin utama yang dikembangkan dalam buku:
Bagian 1: Another Preaching Book?
- Pagitt meragukan apakah khotbah tradisional masih efektif.
- Mengakui kecemasannya sebagai pendeta, dan keinginannya agar khotbah menjadi bagian dari komunitas, bukan sekadar pertunjukan.
Bagian 2: Preaching Beyond Speaching
- Menjelaskan kerusakan akibat “speaching.”
- Kritik terhadap khotbah satu arah yang tidak membentuk kehidupan nyata.
- Penyebab utama kegagalan khotbah menurut banyak orang:
- Jemaat keras hati.
- Metode kurang relevan.
- Pendeta kurang kudus.
- Isi khotbah tidak murni.
- Tetapi Pagitt menunjukkan akar masalah sebenarnya: struktur relasional dari “speaching” itu sendiri.
Bagian 3: A Move to Something New
- Perkenalkan “Progressional Dialogue” sebagai jalan keluar.
- Mencontohkan kisah Petrus dan Kornelius (Kis. 10) sebagai ilustrasi model dialog yang membuka mata.
- Membandingkan “implication” (dilibatkan dalam cerita Allah) vs. “application” (sekadar tugas moral yang umum).
Bagian 4: Why We’re Reluctant to Change
- Alasan orang tidak mau berubah:
- Takut salah ajar atau bidat.
- Ketergantungan pada kontrol pusat.
- Takut kehilangan otoritas atau dukungan jemaat.
- Tidak ada panggilan atau dorongan perubahan.
- Menunjukkan bahwa speaching bukan metode kuno, melainkan warisan pencerahan modern, bukan gereja mula-mula.
Bagian 5: Why We Need to Change
- Konsep “priesthood of all believers” belum diterapkan secara penuh dalam khotbah.
- Jemaat perlu dipercaya sebagai pengemban Firman, bukan sekadar pendengar.
- Gereja membutuhkan deep ecclesiology: pemahaman mendalam tentang menjadi umat Allah, bukan hanya pengelola ibadah.
Bagian 6: How to Make the Move
- Perubahan membutuhkan:
- Persiapan kolektif.
- Keterampilan mendengar dan berelasi.
- Struktur fisik dan bahasa yang inklusif.
- Alkitab sebagai anggota komunitas, bukan alat pendukung kotbah.
- Ruang improvisasi dan ketulusan dalam berbicara.
- Suara jemaat sebagai “suara gereja.”
🔧 PERMASALAHAN UTAMA DAN SOLUSINYA
Permasalahan Khusus | Solusi yang Ditawarkan |
Khotbah menjadi satu arah dan berpusat pada mimbar | Kembangkan model dialog progresif |
Jemaat pasif dan hanya menerima | Libatkan jemaat dalam persiapan dan penyampaian |
Alkitab dijadikan bahan pembenaran semata | Perlakukan Alkitab sebagai anggota komunitas |
Pendeta merasa tertekan menjadi “ahli tunggal” | Jadikan komunitas sebagai pelaku bersama |
Jemaat tidak berubah meski khotbah bagus | Fokus pada keterlibatan, bukan impresi |
💬 KUTIPAN PENTING
“Speaching… may well be an act of relational violence, one that is detrimental to the very communities we are seeking to nurture.”
“The priesthood of all believers has essentially been ignored in the area of preaching… It is an unfunded mandate of the Reformation.”
“Progressional dialogue means moving forward into new thoughts, not digging into predetermined positions.”
KESIMPULAN
Doug Pagitt menantang para pendeta untuk berhenti berkhotbah demi menyampaikan, dan mulai berkhotbah demi membentuk. Ia menegaskan bahwa komunitas adalah tempat utama pembentukan spiritual, bukan mimbar. Dan karena itu, gaya khotbah pun harus berubah: dari komunikasi satu arah menjadi dialog yang memberdayakan semua orang percaya untuk ikut membentuk pemahaman, kehidupan, dan pertumbuhan bersama sebagai tubuh Kristus.