Apa yang dapat kita lakukan untuk membawa peningkatan yang bertahan lama dalam pemberitaan kita? Langkah-langkah apa yang dapat kita ambil sekarang yang bisa kita anjurkan tanpa rasa malu kepada para pemberita dari negara atau budaya mana pun, dan — jika memungkinkan — dari waktu mana pun antara kenaikan Kristus dan kedatangan-Nya kembali?
Kita semua mungkin bisa menghilangkan beberapa kebiasaan yang mengganggu. Kita mungkin bisa mengucapkan kata-kata dengan lebih jelas dan memproyeksikan suara dengan lebih baik. Tetapi bukan itu peningkatan yang sedang saya pikirkan. Saya bahkan tidak sedang membahas soal mengasah keterampilan homiletik dasar kita. Yang saya ingin ketahui adalah, hal-hal mendasar apa yang perlu kita perhatikan agar seni dan keterampilan khotbah Alkitabiah berada di tempatnya yang semestinya. Apa yang akan menjadikan khotbah kita sebagai limpahan dari realitas rohani, kedalaman teologis, dan kepekaan budaya?
Jika kita ingin berkhotbah sebagaimana mestinya, paling tidak, kita harus memberi perhatian serius pada tiga hubungan: hubungan kita dengan Allah Tritunggal, hubungan kita dengan Kitab Suci, dan hubungan kita dengan para pendengar kita. Masing-masing hubungan ini bersifat timbal balik. Artinya, kita bukan hanya berelasi kepada yang lain, tetapi mereka pun berelasi kepada kita. Faktanya, Allah lah yang memulai hubungan kita dengan-Nya. Kitab Suci berbicara kepada kita karena ia hidup dan aktif. Pendengar kita pun berelasi dengan kita sebelum, selama, dan sesudah kita berkhotbah kepada mereka. Mereka bukan sekadar audiens. Seperti kita, Kitab Suci juga memiliki hubungan timbal balik dengan manusia dan Allah, dan para pendengar kita memiliki hubungan timbal balik dengan Allah dan Kitab Suci. Hal ini terjadi karena Allah berelasi dengan firman-Nya dan dengan makhluk ciptaan-Nya, beberapa di antaranya adalah anak-anak-Nya