The Four Pages of The Sermon

Judul: The Four Pages of the Sermon: A Guide to Biblical Preaching
Penulis: Paul Scott Wilson
Penerbit: Abingdon Press, 1999

Paul Scott Wilson dalam The Four Pages of the Sermon menawarkan pendekatan revolusioner dan praktis dalam dunia homiletika modern. Ia memulai dari keresahan mendalam: banyak khotbah masa kini kehilangan kekuatan teologisnya karena terlalu berfokus pada bentuk atau teknik tanpa memperhatikan substansi Injil itu sendiri. Permasalahan utama yang diidentifikasi adalah absennya fokus kepada Allah dalam banyak khotbah—baik dalam gereja konservatif maupun liberal.

Wilson melihat bahwa bentuk tradisional khotbah tiga poin atau dua bagian (eksposisi dan aplikasi) sering kali menekankan tanggung jawab manusia lebih daripada anugerah Allah. Khotbah menjadi moralistik, sarat dengan “seharusnya” dan “harus,” tanpa mengangkat karya penyelamatan Allah dalam Kristus. Hasilnya adalah jemaat yang lebih terbebani daripada ditolong, lebih merasa bersalah daripada dikuatkan dalam pengharapan.

Solusi yang ditawarkan Wilson adalah struktur khotbah yang ia sebut sebagai “Empat Halaman Khotbah” (The Four Pages of the Sermon). Ini bukan empat lembar kertas secara harfiah, tetapi empat fungsi teologis utama yang harus ada dalam setiap khotbah. Empat halaman tersebut adalah:

Halaman Satu: Masalah dalam Dunia Alkitab – Menggali konflik atau dosa dalam teks Alkitab.

Halaman Dua: Masalah Serupa di Dunia Kita – Menunjukkan relevansi masalah itu dalam konteks kehidupan sekarang.

Halaman Tiga: Apa yang Allah Lakukan dalam Teks Alkitab – Menyoroti tindakan kasih karunia Allah dalam narasi tersebut.

Halaman Empat: Apa yang Allah Lakukan Sekarang di Dunia Kita – Menunjukkan karya penyelamatan Allah yang terus berlangsung hari ini.

Dengan pendekatan ini, Wilson berusaha menyeimbangkan eksposisi teks dan konteks, serta memastikan bahwa khotbah berakhir dengan pengharapan, bukan beban. Ia ingin agar jemaat meninggalkan gereja dengan iman yang diperkuat, pengharapan yang dipulihkan, dan kasih yang bertumbuh. Setiap bagian dari khotbah diatur untuk menunjuk kepada karya aktif Allah—bukan sekadar kepada tugas manusia.

Wilson juga mendorong agar para pengkhotbah mengganti paradigma mereka dari penulisan esai ke “pembuatan film.” Ini adalah metafora penting yang mendorong pengkhotbah untuk menggunakan imajinasi visual, naratif, dan emosional, bukan hanya logika akademik. Ia menegaskan bahwa khotbah harus seperti adegan dalam film yang hidup—dengan suasana, karakter, konflik, dan resolusi yang membentuk pengalaman rohani bagi pendengar.

Salah satu kekuatan buku ini adalah kepraktisannya. Wilson tidak hanya menyajikan teori, tapi juga membagi proses persiapan khotbah dalam langkah mingguan: Senin untuk memutuskan arah utama khotbah (teks, tema, doktrin, kebutuhan jemaat, gambar sentral, dan misi), lalu Selasa hingga Jumat untuk menulis masing-masing dari empat halaman tersebut.

Di balik metodologi yang rinci, ada dorongan spiritual yang kuat: Wilson ingin para pengkhotbah jatuh cinta kembali pada panggilan mereka. Ia mengajak mereka menyadari bahwa khotbah bukan sekadar presentasi ide, tapi peristiwa teologis—di mana Allah sendiri hadir dan berbicara melalui Firman. Khotbah bukan sekadar instruksi moral, tapi wahyu kasih karunia.

Wilson juga dengan jeli mengkritik banyak pendekatan naratif modern yang terlalu bebas dari teologi. Narasi, katanya, penting, tetapi harus diarahkan dan dibentuk oleh teologi yang tepat. Imajinasi tanpa kerangka teologis hanya akan menciptakan pesan yang dangkal. Sebaliknya, imajinasi yang dibimbing oleh empat halaman akan menciptakan khotbah yang hidup, kuat, dan mengakar dalam Injil.

Kelebihan lain buku ini adalah fleksibilitasnya. Wilson menunjukkan bahwa empat halaman tidak harus disusun dalam urutan tetap. Para pengkhotbah dapat menyusunnya dalam berbagai kombinasi, selama semua fungsi teologis tercakup. Dengan demikian, pendekatan ini memberi kebebasan kreatif sekaligus kerangka yang kokoh.

Kesimpulannya, The Four Pages of the Sermon adalah panduan homiletika yang sangat relevan untuk zaman ini. Di tengah krisis spiritual, kemerosotan jemaat, dan tuntutan budaya visual, Wilson menghadirkan metode khotbah yang tidak hanya praktis, tetapi juga mendalam secara teologis dan menyentuh secara spiritual. Buku ini tidak hanya layak dibaca oleh mahasiswa teologi, tapi juga oleh pendeta, pengkhotbah, dan pemimpin rohani yang rindu membawakan Firman dengan kuasa dan kasih karunia.

Related Posts