“Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata kepada mereka: ‘Selamat jalan, kenakanlah pakaian yang hangat dan makanlah sampai kenyang!’ tetapi kamu tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”
(Yakobus 2:14–17)
Ketika kita mengingat kembali bahwa tujuan kita bukan sekadar persetujuan intelektual terhadap realitas Allah, melainkan hubungan yang terus bertumbuh dengan-Nya, maka kata “percaya” lebih tepat menggambarkan apa yang sedang kita bicarakan. Sebagai para pengkhotbah, kita harus berkhotbah dalam iman, percaya kepada Allah bahwa Ia akan menjadi dan melakukan segala yang telah dinyatakan dan dijanjikan-Nya.
Dalam 2 Tawarikh 20, diceritakan ketika Yosafat, raja Yehuda, menghadapi pasukan besar dari bangsa-bangsa musuh tradisional. Ketika mendengar bahwa pasukan itu sedang mendekat, Yosafat—walaupun takut—mencari Tuhan, menyerukan puasa, dan mengumpulkan rakyat untuk memohon petunjuk Tuhan. Doanya penuh kerendahan hati, kejujuran, dan iman:
“Ya TUHAN, Allah nenek moyang kami, bukankah Engkau Allah di sorga? Bukankah Engkau yang memerintah atas segala kerajaan bangsa-bangsa? Dalam tangan-Mu ada kuasa dan keperkasaan, sehingga tidak ada orang yang dapat bertahan melawan Engkau. Ya Allah kami, bukankah Engkau yang telah menghalau penduduk negeri ini dari depan umat-Mu Israel dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya? Mereka telah tinggal di situ dan mendirikan bagi nama-Mu tempat kudus, demikian: Apabila ada malapetaka menimpa kami, yakni pedang penghukuman, penyakit sampar atau kelaparan, maka kami akan berdiri di hadapan rumah ini dan di hadapan-Mu—sebab nama-Mu tinggal di dalam rumah ini—dan kami akan berseru kepada-Mu dalam kesesakan kami, sampai Engkau mendengar dan menyelamatkan kami.
Tetapi sekarang, lihatlah, bani Amon, Moab, dan orang-orang dari pegunungan Seir, yang dahulu tidak Kauizinkan untuk diserang oleh Israel, ketika mereka keluar dari tanah Mesir—sehingga mereka menjauh dari orang-orang itu dan tidak membinasakan mereka—lihatlah, bagaimana mereka membalas kami dengan datang mengusir kami dari tanah milik-Mu yang telah Kauberikan kepada kami sebagai milik pusaka. Ya Allah kami, tidakkah Engkau akan menghukum mereka? Sebab kami tak berdaya menghadapi laskar yang besar ini yang menyerang kami. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tetapi mata kami tertuju kepada-Mu.” (2 Taw 20:6b–12)
Rakyat berdiri di hadapan Tuhan. Tuhan menjawab melalui Yahaziel, seorang Lewi:
“Camkanlah, hai seluruh Yehuda dan penduduk Yerusalem serta raja Yosafat! Beginilah firman TUHAN kepadamu: Jangan kamu takut dan jangan gentar menghadapi laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang, melainkan Allah… Kamu tidak usah bertempur dalam pertempuran ini. Tempatkanlah dirimu, berdirilah diam dan lihatlah keselamatan dari TUHAN yang menyertai kamu, hai Yehuda dan Yerusalem. Jangan takut dan jangan gentar; majulah besok menghadapi mereka, sebab TUHAN menyertai kamu.” (2 Taw 20:15,17)
Iman bukan berarti pasif, melainkan justru ketaatan. Perhatikan bagaimana Yosafat merespons:
“Lalu Yosafat sujud dengan mukanya ke tanah dan seluruh Yehuda serta penduduk Yerusalem pun sujud menyembah di hadapan TUHAN. Orang-orang Lewi dari bani Kehat dan bani Korah bangkit untuk menyanyikan puji-pujian kepada TUHAN, Allah Israel, dengan suara yang sangat nyaring.”
“Keesokan harinya pagi-pagi mereka pergi ke padang gurun Tekoa.” (2 Taw 20:18–20a)
Instruksi Yosafat berikut ini sangat penting dalam kaitannya dengan pokok perenungan kita:
“Percayalah kepada TUHAN, Allahmu, maka kamu akan teguh! Percayalah kepada nabi-nabi-Nya, maka kamu akan berhasil!” (2 Taw 20:20b)
Perhatikan bahwa sang raja mengundang rakyat untuk percaya kepada Allah dan kepada nabi-nabi-Nya! Pola paralel yang khas dalam sastra Ibrani tampaknya digunakan di sini. Percaya kepada Allah dan kepada nabi-Nya berjalan bersama, karena Allah berbicara melalui para nabi-Nya.
Ketika kita berbicara atas nama Allah—sebagaimana kita lakukan sebagai pengkhotbah—iman dari para pendengar kita juga menyangkut kepercayaan mereka kepada kita, karena kita dipercayakan untuk menyampaikan firman Allah.
Pada zaman Israel kuno, umat tidak memiliki banyak pilihan selain mempercayai para nabi, karena komunikasi Allah lewat nabi-nabi itu bersifat eksklusif. Umat tidak memiliki akses langsung kepada firman Allah yang tertulis. Dalam zaman kita, para jemaat yang setia dapat membaca sendiri firman Allah ketika para pengkhotbah tidak setia menyampaikannya. Namun demikian, prinsipnya tetap berlaku: ketika kita percaya kepada Allah, Dia menyatakan diri-Nya untuk kepentingan orang lain yang percaya kepada kita sebagai pembawa firman-Nya.
Bapa, betapa beratnya mengetahui bahwa mereka yang mendengarkan khotbah kami menaruh kepercayaan bahwa kami akan setia menyampaikan firman-Mu. Sungguh tak tertahankan jika kami sampai menyesatkan mereka atau menggoyahkan iman mereka karena ketidaksetiaan kami. Mampukan aku untuk belajar dan berkhotbah sedemikian rupa, sehingga aku benar-benar mengucapkan kembali firman-Mu dengan setia, dan supaya kepercayaan jemaat kepada diriku sebagai pengkhotbah selalu pantas mereka berikan. Amin.