HARI 14: Allah Menunjuk Kita sebagai Pengelola Firman-Nya

Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil! Kalau aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, aku mendapat upah. Tetapi jika bukan kehendakku sendiri, aku hanya melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadaku.
(1 Korintus 9:16–17)

Ketika kita memikirkan tentang karunia, kita cenderung melihat diri kita sebagai penerima dari sesuatu yang diberikan kepada kita. Jika seseorang memberi saya sebuah baju hangat untuk Natal, sayalah yang menikmatinya dan memakainya. Tapi pola pikir ini tidak cocok jika diterapkan pada karunia rohani. Ya, Allah memberikan karunia kepada anak-anak-Nya, tetapi Ia memberikannya untuk digunakan, bukan hanya untuk dinikmati (lihat 1 Timotius 6:17). Kita bukan hanya penerima; kita juga adalah pengelola. Sebagai orang yang memiliki karunia memberitakan firman, kita pada dasarnya adalah pengelola firman Allah. Fakta ini membentuk cara Paulus memandang peran dirinya dalam gereja:

Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang dipercayakan untuk memberitakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai. Bagiku sedikit sekali artinya, entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malah aku sendiri tidak menghakimi diriku. Aku memang tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Yang menghakimi aku ialah Tuhan. Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan dan akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Pada waktu itulah tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.
(1 Korintus 4:1–5)

Gereja seharusnya memandang kita sebagai hamba Kristus dan pengelola rahasia-rahasia Allah. Kita pun harus memandang diri kita sendiri dengan cara yang sama. Karena ini adalah peran kita, maka kesetiaan menjadi tanggung jawab utama kita. Namun pada akhirnya, baik kita sendiri maupun para pendengar kita tidak dapat benar-benar menilai kesetiaan itu. Hati nurani yang bersih tidak berarti kita tidak bersalah. Kita terlalu pandai menyembunyikan motif-motif kita yang sebenarnya. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Ketika Ia datang, Ia akan menyatakan apa yang tersembunyi dan memperlihatkan apa yang tersimpan dalam hati. Dan pada saat itulah, setiap orang akan menerima pujian dari Allah. Ya, Allah sendiri akan memuji mereka yang layak menerimanya oleh karena kasih karunia-Nya.

Fakta-fakta ini memiliki implikasi praktis yang besar. Memang tepat dan patut untuk bersyukur kepada Allah atas keberadaan saudara seiman (Derek Tidball menyebut hal ini sebagai strategi eukharistik dalam pelayanan; lihat Filipi 2:20–22 dan Kolose 4:12–13). Namun kita harus berhati-hati untuk tidak menerima (atau memberi kepada sesama pengkhotbah) pujian yang melampaui peran kita sebagai hamba. Terlalu dini untuk menilai, dan memang bukan wewenang kita untuk menentukan apakah seseorang layak disebut “setia” oleh Tuhan.

Tampaknya Paulus mampu menjaga jarak dari pujian maupun kritik, dari rasa bangga maupun rendah diri yang tidak pada tempatnya. Ia memang berusaha menjaga hati nuraninya tetap bersih (Kisah Para Rasul 24:16), tetapi ia tidak mengandalkan penilaiannya sendiri. Ia sangat sadar akan tipu daya dosa dan dampaknya yang masih melekat dalam hati manusia, bahkan dalam hati orang percaya yang telah dilahirkan kembali.

Kiranya Anda mengalami kebebasan yang datang dari hidup dalam pertanggungjawaban kepada Allah semata. Sebab kita berdiri atau jatuh di hadapan Tuhan kita sendiri, dan Ia sanggup membuat kita tetap berdiri (Roma 14:4).

Doa:

Tuhan dan Tuan-ku, aku mengakui bahwa sekalipun aku melakukan semua yang Kau perintahkan kepadaku, pada hari terakhir, aku hanya dapat berkata, “Aku ini hamba yang tidak berguna.” Namun kenyataannya, aku bahkan masih jauh dari standar itu. Aku merindukan hari ketika aku mendengar ucapan-Mu, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia.” Sampai hari itu tiba, oleh kemurahan-Mu, perlengkapi aku agar setia dalam perkara-perkara kecil maupun besar, terutama dalam tugas yang telah Kau percayakan kepadaku—yaitu membukakan firman-Mu kepada umat-Mu. Amin.

Related Posts