Kejar kasih itu dan usahakanlah karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat. Sebab siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorang pun yang mengerti, oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia. Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun jemaat. Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih lagi supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih besar dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkan apa yang dikatakannya, sehingga jemaat dapat dibangun.
(1 Korintus 14:1–5)
Panggilan Allah kepada individu untuk menjadi bagian dari gereja juga mengingatkan kita bahwa meskipun ketaatan pribadi adalah sesuatu yang harus kita kejar, ketaatan itu biasanya memiliki dimensi bersama karena Allah sedang membangun gereja-Nya. Perhatikan bagaimana Petrus memadukan kedua dimensi tersebut:
Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormati di hadirat Allah. Kamu juga, sebagai batu-batu yang hidup, biarkanlah dirimu dibangun menjadi suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang berkenan kepada Allah oleh Yesus Kristus. Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci:
“Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih,
sebuah batu penjuru yang mahal,
dan siapa yang percaya kepadanya,
tidak akan dipermalukan.”
Bagi kamu yang percaya, batu itu sangat berharga. Tetapi bagi mereka yang tidak percaya:
“Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan,
telah menjadi batu penjuru,”
dan juga:
“Batu yang membuat orang tersandung
dan yang membuat mereka jatuh.”
Mereka tersandung karena mereka tidak taat kepada firman Allah, dan itu juga yang telah ditentukan bagi mereka.
Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Kamu yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya; yang dahulu tidak dikasihani, tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.
Saudara-saudara yang kukasihi, aku menasihatkan kamu, sebagai pendatang dan perantau, supaya kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan duniawi yang berjuang melawan jiwa. Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya apabila mereka menfitnah kamu sebagai orang jahat, mereka dapat melihat perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka.
(1 Petrus 2:4–12)
Kita datang kepada Kristus secara pribadi, tetapi Allah membentuk kita menjadi suatu umat: umat pilihan, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat milik Allah sendiri. Setiap batu itu penting, tetapi batu-batu itu sedang dibangun menjadi sebuah rumah rohani. Identitas baru ini bersifat komunal. Status kita saat ini sebagai “pendatang dan perantau” merupakan konsekuensi dari identitas kolektif kita yang baru—yaitu warga Kerajaan Surga. Allah bukan hanya diam di dalam kita secara pribadi, tetapi Ia juga diam di tengah kita secara bersama, dengan cara yang melampaui jumlah bagian-bagiannya.
Ketika kita berkhotbah dalam jemaat umat Allah, tentu kita membayangkan diri kita berbicara kepada individu-individu, karena orang hanya bisa mendengar dengan telinganya sendiri. Tapi ini tidak berarti bahwa kita hanya berbicara tentang perkara pribadi. Kita harus menolong para pendengar kita untuk memandang diri mereka bukan hanya sebagai agen rohani yang berdiri sendiri, melainkan sebagai anggota tubuh Kristus, di mana setiap tindakan atau kelambanan berdampak pada bagian tubuh lainnya, baik secara lokal maupun global. Petrus menerapkan hal ini saat ia menasihati para pembacanya dalam 1 Petrus 5:8–9:
Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu bahwa saudara-saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.
Kita hanya bisa berjaga-jaga dan sadar secara pribadi, dan kita hanya bisa melawan Iblis serta berdiri teguh dalam iman secara pribadi. Namun perhatikan apa yang diketahui oleh orang Kristen. Mereka tahu bahwa saudara-saudara seiman di seluruh dunia sedang mengalami penderitaan yang sama. Keteguhan mereka untuk bertahan dalam iman bukan hanya berasal dari pengetahuan akan kesetiaan Allah, tetapi juga dari kesadaran akan saudara-saudari mereka di dekat maupun jauh. Sebagai para pengkhotbah, kita harus memelihara kesadaran ini. Dan kita hanya bisa melakukannya bila kita benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi dalam tubuh Kristus. Inilah salah satu alasan mengapa peran pastoral dan pelayanan firman begitu erat kaitannya dalam Perjanjian Baru. Pengkhotbah terbaik adalah juga gembala terbaik—dan sebaliknya.
Doa:
Bapa, kami bersyukur karena Engkau telah memberikan kepada kami saudara-saudari seiman, dan karena Engkau telah memanggil serta memperlengkapi kami untuk membangun tubuh Kristus. Berilah kami mata yang mampu melihat bukan hanya individu dengan segala kebutuhan dan potensi mereka, tetapi juga jemaat yang telah Engkau percayakan kepada kami. Tolong kami melihat cacat dan kekurangan serta gejala kekurangan gizi rohani agar kami dapat menyeimbangkan makanan rohani dengan gizi dari firman-Mu yang kudus. Ingatkan kami bahwa kami memang saling menjadi anggota, sehingga kesehatan rohani kami saling berkaitan satu dengan yang lain. Jadikanlah kami tabib jiwa yang lebih baik, demi kesehatan tubuh Kristus dan demi kemuliaan-Mu yang lebih besar. Amin.