“Singa telah mengaum—siapakah yang tidak takut? Tuhan ALLAH telah berfirman—siapakah yang tidak bernubuat?”
(Amos 3:8)
Kita Menghormati Firman Allah
Karena kita menghormati Allah, kita juga menghormati firman-Nya. Kasih dan hormat memang berhubungan, tetapi bukan hal yang sama. Ketika para imam pada zaman Maleakhi gagal mempersembahkan korban yang layak, mereka memperlakukan mezbah Allah dengan penghinaan, dan Allah menganggap itu sebagai penghinaan pribadi terhadap diri-Nya. Jika seorang ayah dan seorang penguasa dunia saja pantas dihormati, terlebih lagi Allah yang hidup! Jika mezbah Allah pantas dihormati karena berkaitan dengan nama-Nya, maka firman-Nya juga sudah pasti layak dihormati.
“Seorang anak menghormati ayahnya, dan seorang hamba menghormati tuannya. Jika Aku ini Bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu? Jika Aku ini Tuhan, di manakah takut yang kepada-Ku itu?” firman TUHAN semesta alam kepada kamu, hai para imam, yang menghina nama-Ku. “Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menghina nama-Mu?’”
(Maleakhi 1:6)
Menghormati Kitab Suci berarti menghormati asal-usul manusianya dan sejarahnya, selain menghargai inspirasi ilahi di baliknya. Jika kita gagal menghormati kenyataan bahwa setiap teks ditulis oleh seseorang yang hidup dalam suatu konteks budaya dan memiliki tujuan khusus, maka kita akan memperlakukan teks itu seolah-olah konteks tersebut tidak penting. Dalam kasus yang ekstrem, ini bisa membuat seseorang meninggikan suatu terjemahan tertentu (misalnya terjemahan Inggris) seolah-olah itu diilhamkan langsung oleh Allah.
Inspirasi memang meninggikan teks yang kita miliki, tetapi bukan berarti kita bisa memperlakukannya secara sembarangan atau magis. Kita harus menghormati hikmat Allah dalam memilih memberikan teks itu sebagaimana adanya, dan memperlakukan hasil dari hikmat itu dengan penuh hormat. Artinya, kita harus berusaha memahami maksud asli dari penulis manusia, memahami kata-kata yang ia pakai, struktur bahasa dan gaya penulisan (genre) yang digunakannya, konteks pendengar pertama, dan bagaimana bagian lain dari Alkitab memberi cahaya pada teks tersebut. Kita juga dapat mempertimbangkan bagaimana ayat ini telah ditafsirkan oleh gereja sepanjang sejarah.
Sampai kita memperoleh pemahaman yang baik tentang apa yang dikatakan penulis Alkitab kepada pendengar pertamanya, kita tidak dapat menangkap apa yang ingin Allah katakan kepada para pendengar kita. Mengapa? Karena jika kita mendekati suatu teks Kitab Suci tanpa berusaha memahami makna aslinya, teks itu hanya akan menjadi pemicu atau rangsangan bagi pemikiran kita sendiri. Kita kemudian bisa memaksakan pemikiran kita sendiri ke atas teks itu, dan hasilnya adalah khotbah impositif, bukan khotbah ekspositif. Jika pikiran kita dipenuhi dengan Kitab Suci, mungkin pemikiran kita cukup baik, bahkan benar. Tetapi tujuan berkhotbah bukanlah agar kita menyampaikan apa yang muncul dalam pikiran kita saat membaca Kitab Suci, melainkan agar kita semua—pengkhotbah maupun pendengar—mendengarkan apa yang Allah katakan melalui apa yang telah Dia firmankan.
Jika saya tampak seperti mendengarkan seseorang, padahal sebenarnya saya sedang memikirkan apa yang akan saya katakan setelah dia selesai berbicara, saya sebenarnya tidak benar-benar mendengarkan. Demikian juga dalam mempelajari Alkitab. Sebagai pengkhotbah, kita harus mendisiplinkan diri untuk cepat mendengar dan lambat berbicara. Kita harus dengan hormat menunggu untuk mendengar apa yang Allah telah firmankan, lalu dengan penuh doa mencari tahu bagaimana firman itu berkaitan dengan kita.
Ini berarti bahwa pengkhotbah harus mempelajari kata-kata Alkitab dan konteks historis di mana kata-kata itu pertama kali diucapkan. Jika kita terus-menerus mengeluarkan ayat dari konteksnya, kita tidak bisa mengharapkan untuk memahami pesan keseluruhannya. Dan jika kita gagal memahami keseluruhannya, maka kemampuan kita untuk memahami bagian-bagiannya pun akan terganggu.
Tuhan, ingatkan aku untuk memperlakukan Alkitab fisikku dengan hormat sebagai wujud dari kenyataan bahwa ini adalah firman-Mu yang kudus. Tolong bantu aku untuk menjunjung tinggi firman-Mu setinggi-tingginya, agar mereka yang melihat aku pun belajar untuk melakukan hal yang sama. Amin.