“Ajarkanlah kepadaku, TUHAN, jalan ketetapan-ketetapan-Mu, supaya aku mengikutinya sampai akhir. Berilah aku pengertian, supaya aku berpegang pada Taurat-Mu dan menurutinya dengan segenap hati.”
(Mazmur 119:33–34)
Kita Belajar Saat Kita Taat
Ketaatan sering kali merupakan buah dari pendengaran dan juga syarat bagi pembelajaran dan pertumbuhan lebih lanjut. Ingatlah apa yang Yesus katakan kepada orang-orang Yahudi yang menolak-Nya di pelataran Bait Allah:
Ketika pesta itu sudah setengah jalan, Yesus naik ke Bait Allah dan mulai mengajar. Orang-orang Yahudi heran dan berkata, “Bagaimana orang ini memiliki pengetahuan tanpa pernah belajar?”
Yesus menjawab, “Ajaran-Ku bukan berasal dari diri-Ku sendiri, melainkan dari Dia yang mengutus Aku. Barangsiapa mau melakukan kehendak Allah, ia akan tahu apakah ajaran-Ku berasal dari Allah atau dari diri-Ku sendiri. Orang yang berkata-kata atas namanya sendiri mencari kehormatan bagi dirinya, tetapi orang yang mencari kehormatan bagi Dia yang mengutusnya, orang itu benar, dan dalam dirinya tidak ada ketidakbenaran. Bukankah Musa telah memberikan hukum Taurat kepadamu? Namun tidak satu pun dari kamu yang menaati hukum itu. Mengapa kamu berusaha membunuh Aku?”
(Yohanes 7:14–19)
Ayat 17 (yang digarisbawahi dalam teks asli) menyatakan prinsip penting: jika seseorang sungguh-sungguh ingin melakukan kehendak Allah, ia akan mengenali kebenaran Allah. Penentang Yesus menunjukkan sisi negatif dari prinsip ini. Mereka gagal menaati hukum Musa dan karena itu tidak mampu mengenali Yesus sebagai Mesias — bahkan mereka ingin membunuh-Nya. Sebaliknya, Yesus menunjukkan sisi positif dari prinsip ini. Ia tidak berbicara atas nama-Nya sendiri (demi kemuliaan pribadi), melainkan mencari kemuliaan Bapa yang mengutus-Nya. Karena itulah Ia adalah pribadi yang benar, yang mampu menerima kebenaran dari Allah dan menyampaikannya dengan setia. Mereka yang tunduk kepada firman Allah akan mengenali ajaran-Nya sebagai ajaran sejati dan menerima utusan yang membawanya.
Hal yang sama dinyatakan dalam Kolose 1:9–14: ketaatan terhadap apa yang sudah kita ketahui dari Allah membuka jalan untuk pembelajaran dan ketaatan yang lebih dalam. Paulus gemar menyampaikan isi doanya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah dan sarana pengajaran bagi jemaat tentang apa yang paling ia tekankan. Doa-doanya tidak hanya dijawab oleh Allah, tetapi juga mengungkapkan cara kerja Allah:
“Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tidak berhenti berdoa untuk kamu. Kami selalu memohon agar kamu dipenuhi dengan pengetahuan akan kehendak-Nya dalam segala hikmat dan pengertian rohani. Tujuannya adalah supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan menyenangkan-Nya dalam segala hal, menghasilkan buah dalam setiap pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan akan Allah. Kamu dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa-Nya yang mulia untuk bertahan dan bersabar dengan sukacita. Dan kamu mengucap syukur kepada Bapa yang telah melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam warisan orang-orang kudus di dalam terang. Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang terkasih, di dalam Dia kita memiliki penebusan, yaitu pengampunan dosa.”
(Kolose 1:9–14)
Di balik setiap ketaatan yang memuliakan Allah ada karya penyelamatan Kristus (ayat 13). Karya itu menghasilkan buah (seperti iman, pengharapan, dan kasih yang disyukuri Paulus dalam Kolose 1:3–4). Bukti nyata dari karya Allah ini mendorong Paulus untuk terus memohon agar jemaat diberi pengetahuan sejati tentang kehendak Allah, yaitu pengetahuan yang tidak terpisahkan dari hikmat dan pengertian rohani.
Orang-orang yang memiliki kualitas tersebut — berkat jawaban doa — mampu menjalani hidup yang layak di hadapan Tuhan dan menyenangkan-Nya dalam segala hal. Dalam ketaatan mereka menghasilkan buah, memperoleh kekuatan untuk bertahan dengan sukacita dan kesabaran, serta bersyukur kepada Allah atas karya-Nya dalam hidup mereka. Dan di saat yang sama, mereka bertumbuh dalam pengenalan akan Allah.
Sebagai para pengkhotbah, karena kita setiap hari bergumul dengan firman Tuhan dan berkhotbah setiap minggu, kita menghadapi bahaya nyata: kita bisa saja berhenti memperlakukan firman itu dengan serius, dan tidak lagi mendengar suara Allah yang menggemuruh ataupun yang menghibur. Ketika kita mulai membuka firman Tuhan secara profesional — menyimpannya di kejauhan — maka kemampuan kita untuk mendengarnya pun perlahan akan hilang.
Dan ketika kita tidak lagi mendengar suara Allah, akan jauh lebih sulit membantu orang lain mendengarnya. Solusinya? Salah satu opsi adalah mengurangi frekuensi berkhotbah, dan membagikan tugas kepada orang lain. Atau, kita bisa memakai kesempatan berkhotbah tambahan untuk mengembangkan bagian-bagian tertentu dari teks utama mingguan. Atau kita memilih teks yang lebih pendek, sehingga kita bisa fokus pada penerapan ketaatan secara mendalam, bukan sekadar membahas isi teks.
Namun yang paling penting, kita harus memohon kepada Allah — yang mengetahui situasi dan tanggung jawab kita — agar kita tetap memperlakukan firman-Nya dengan serius setiap kali membukanya, dan meresponsnya dengan iman serta ketaatan.
Hari ini, doa saya diambil dari Mazmur 119:97–104:
“Betapa aku mencintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. Perintah-Mu selalu menyertaiku dan membuat aku lebih bijaksana daripada musuh-musuhku. Aku lebih berakal daripada semua pengajarku, sebab aku merenungkan peraturan-Mu. Aku lebih mengerti daripada orang-orang tua, sebab aku menaati titah-titah-Mu. Aku menahan kakiku dari setiap jalan jahat, supaya aku tetap memegang firman-Mu. Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajarkannya kepadaku. Betapa manisnya janji-janji-Mu bagiku, lebih manis daripada madu di mulutku! Aku mendapat pengertian dari titah-titah-Mu, sebab itu aku membenci segala jalan dusta.”