“Tetapi Musa berkata kepada bangsa itu: ‘Jangan takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. TUHAN akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja.’”
(Keluaran 14:13–14)
Ketika menghadapi pasukan besar dari para musuh, Yosafat, meskipun adalah raja Yehuda, tidak menggunakan otoritasnya untuk menguasai rakyat. Allah telah berbicara, dan umat telah merespons dengan baik. Yosafat telah mendorong mereka untuk percaya dan menjanjikan kemenangan. Namun, meskipun semua itu sudah terjadi, ia tetap berkonsultasi dengan rakyat sebelum mengangkat “pasukan paduan suara” untuk maju! Sisanya, sebagaimana sering dikatakan, adalah sejarah.
“Setelah ia berunding dengan rakyat, ia mengangkat orang-orang yang akan menyanyi-nyanyi bagi TUHAN dan memuji-muji-Nya dalam pakaian kudus yang indah, ketika mereka keluar di depan orang-orang bersenjata, sambil berkata:
‘Bersyukurlah kepada TUHAN,
bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!’”
“Ketika mereka mulai bersorak-sorai dan menyanyikan nyanyian pujian, TUHAN menghadang bani Amon dan Moab dan orang-orang dari pegunungan Seir yang hendak menyerang Yehuda, sehingga mereka terpukul kalah. Lalu bani Amon dan Moab bangkit melawan penduduk pegunungan Seir untuk menumpas dan membinasakan mereka. Setelah mereka membasmi penduduk Seir, mereka saling bunuh-membunuh.”
“Ketika orang Yehuda tiba di tempat peninjauan di padang gurun itu dan memandang ke arah laskar itu, tampaklah mayat-mayat bergelimpangan di tanah, tidak seorang pun yang terluput. Maka datanglah Yosafat dan orang-orangnya untuk merampas barang-barang mereka; mereka mendapat banyak sekali harta benda, pakaian, dan barang-barang berharga, yang mereka rebut lebih banyak daripada yang dapat mereka angkut. Tiga hari lamanya mereka mengangkut barang-barang itu, karena begitu banyaknya. Pada hari keempat mereka berkumpul di Lembah Berakah dan di sana mereka memuji TUHAN. Itulah sebabnya tempat itu dinamai Lembah Berakah sampai hari ini.”
(2 Tawarikh 20:21–26)
Meski kita hidup berabad-abad dan dalam konteks berbeda dari peristiwa ini, pelajarannya tetap sama: iman kita harus bertumpu pada kecukupan Allah yang sempurna.
Alasan mengapa banyak dari kita tidak berkhotbah seolah-olah segala sesuatu bergantung pada suara Allah yang didengar dalam persekutuan jemaat, adalah karena kita sebenarnya tidak benar-benar percaya. Dalam ketidakpercayaan itu, kita mencari cara-cara lain untuk memenuhi kebutuhan gereja, dan akibatnya pelayanan pemberitaan kita pun merosot.
Kurangnya iman kita menghasilkan kelalaian. Mengapa kita harus menghabiskan berjam-jam untuk memahami dan mengkhotbahkan sebuah teks Alkitab, jika kita berpikir bahwa kita hanya menyampaikan ide-ide yang kebetulan lebih baik dari yang lain, namun hanya bermanfaat sejauh bisa menyesuaikan kesadaran orang atau membenahi cara berpikir mereka? Kita berkata dalam hati bahwa ada cara lain untuk mendorong orang memberi, merekrut mereka untuk melayani, atau membantu mereka menghadapi hidup. Jadi, mengapa tidak pakai strategi-strategi itu saja?
Namun, konsekuensi dari kecukupan Allah yang sempurna adalah ketidakcukupan kita untuk melakukan hal-hal yang sungguh Allah kehendaki. Kita memang bisa melakukan banyak hal, tetapi kita tidak bisa menghidupkan orang yang mati secara rohani; kita tidak bisa mengubah orang berdosa menjadi orang kudus; kita tidak bisa menumbuhkan tubuh Kristus.
Yang mengagumkan adalah: Allah berkenan melakukan semua hal itu melalui kita yang berkhotbah, tetapi Dia sendirilah yang bekerja, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Yosafat.
Tuhan, aku percaya; tolonglah ketidakpercayaanku.
Tolong aku untuk percaya kepada-Mu cukup dalam,
sehingga aku mau menunggu Engkau membuka mataku
untuk melihat Engkau di dalam firman-Mu.
Lalu, tolong aku mempercayai-Mu untuk membimbingku
dalam menyampaikan firman-Mu kepada mereka
yang telah Engkau panggil untuk aku layani atas nama-Mu.
Amin.