Orang bebal berkata dalam hatinya, “Tidak ada Allah.” Mereka bejat, perbuatan mereka keji; tidak ada seorang pun yang berbuat baik.
(Mazmur 14:1)

Sekarang saatnya merenungkan lebih dalam respons kita terhadap kasih Allah. Ketika Anda memulai bagian kedua dari rangkaian renungan ini tentang hubungan kita dengan Allah, saya mengajak Anda untuk kembali membaca pengantar di halaman 1 agar ingat akan tujuan kita bersama.

Pada level yang paling dasar, respon yang logis terhadap kasih Allah adalah iman:

Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.
(Ibrani 11:6)

Kita tidak bisa menyenangkan Allah jika kita meragukan keberadaan-Nya! Fakta-fakta Injil harus benar — atau kita, baik sebagai orang percaya maupun pemberita Firman, dalam masalah besar. Paulus menyoroti isu ini dalam 1 Korintus 15, pasal terkenal tentang kebangkitan:

Tetapi bila mana diberitakan bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Jika tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga iman kamu. Lebih dari itu, kami ternyata berdusta tentang Allah, sebab tentang Dia kami katakan bahwa Ia telah membangkitkan Kristus—padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, jika memang benar orang mati tidak dibangkitkan. Sebab jika orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah iman kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikian juga binasa orang-orang yang mati dalam Kristus. Jika kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.
(1 Korintus 15:12–19)

Argumennya sangat jelas. Paulus dan semua pengkhotbah Kristen memberitakan bahwa Kristus telah bangkit dari antara orang mati. Jika pada kenyataannya tidak ada kebangkitan orang mati, maka:

  • Kristus tidak bangkit.
  • Pemberitaan kita sia-sia.
  • Iman kita juga sia-sia.
  • Kita masih dalam dosa.
  • Orang Kristen yang telah meninggal telah binasa.
  • Kita adalah orang-orang yang paling patut dikasihani.

Dan yang paling serius, kita para pengkhotbah menjadi saksi dusta tentang Allah — karena kita bersaksi bahwa Allah membangkitkan Kristus, padahal tidak mungkin jika tidak ada kebangkitan.

Perhatikan bahwa tidak ada sedikit pun petunjuk bahwa iman hanyalah prinsip mental, perspektif pribadi, sugesti diri, atau semacam pola pikir yang membantu kita menjalani hari. Paulus berbicara tentang realitas eksternal yang objektif dan dapat diverifikasi. Pesan yang dia (dan kita) khotbahkan harus sesuai dengan realitas itu. Jika tidak, akibatnya mengerikan.

Jadi, iman tidak menciptakan realitas, melainkan mengakui realitas sebagaimana adanya, sebagaimana telah dinyatakan oleh Allah. Iman yang menyelamatkan melibatkan lebih dari ini — tetapi tidak pernah kurang dari ini.

Terima kasih ya Tuhan yang penuh kasih karunia, bahwa iman yang sejati bersandar pada realitas yang tak tergoyahkan dan tak berubah, bahwa dari kekekalan sampai kekekalan, Engkaulah Allah. Terima kasih karena aku mengenal Engkau, maka aku hidup dalam dunia yang nyata. Amin.

Related Posts