“Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, tujuanku, imanku, kesabaranku, kasihku, ketekunanku, aniaya dan penderitaanku—semuanya yang telah menimpaku di Antiokhia, di Ikonium dan di Listra. Aniaya yang aku derita! Namun Tuhan telah melepaskan aku dari semuanya itu. Memang, setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya, sedangkan orang-orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan. Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan yakini, karena engkau tahu dari siapa engkau belajar.”
(2 Timotius 3:10–14)
Nama yang kita pakai untuk menyebut Roh Kudus mengandung satu lagi pelayanan penting-Nya: pengudusan—pekerjaan menjadikan kita kudus. Tuhan Yesus berdoa agar semua pengikut-Nya dikuduskan oleh firman kebenaran (Yohanes 17:17), sehingga kita tidak bisa memisahkan pelayanan Roh dalam pengudusan dari pelayanan firman Allah, yang telah dipercayakan kepada kita.
Ketika kita dibaptis ke dalam tubuh Kristus oleh Roh Kudus (lahir baru), kita langsung disisihkan untuk tujuan Allah, dibedakan dari dunia ini melalui “garis keturunan” dan “kewarganegaraan” surgawi kita. Rasul Paulus, bahkan ketika berbicara kepada jemaat yang tidak sempurna seperti di Korintus, tetap menyebut mereka:
“Kepada jemaat Allah di Korintus, kepada mereka yang telah dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, bersama dengan semua orang di segala tempat yang berseru kepada nama Yesus Kristus, Tuhan mereka dan Tuhan kita.”
(1 Korintus 1:2)
Proses pengudusan, yang dimulai saat pertobatan, terus berlangsung. Paulus menyatakannya dalam doanya untuk jemaat Tesalonika:
“Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa, dan tubuhmu terpelihara sempurna tanpa cacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.”
(1 Tesalonika 5:23)
Kita bisa menggali lebih dalam tentang pengudusan, namun mari kita fokus pada satu pelajaran dari teladan Yesus. Ia melanjutkan doa Imam Besar-Nya dengan kata-kata kunci ini:
“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran. Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka.”
(Yohanes 17:18–20)
Kita melihat bahwa Yesus mengutus kita sebagaimana Ia telah diutus oleh Bapa. Doa ini bukan hanya bagi para murid yang hadir secara fisik, tetapi juga bagi kita semua yang percaya melalui firman mereka (ayat 20). Ia menyatakan bahwa pengudusan kita berdasarkan kekudusan-Nya. Yesus harus kudus, karena Ia adalah penanggung dosa yang tak berdosa. Jika Yesus berdosa, kematian-Nya hanya akan membayar dosanya sendiri dan tidak dapat menjadi pengganti bagi dosa kita.
Hubungan antara Kekudusan Pengkhotbah dan Pendengar
Teks ini menantang kita dengan sebuah pertanyaan: Apa hubungan antara pengudusan kita sebagai pengkhotbah dan pengudusan para pendengar kita? Kita diundang untuk mengikuti teladan Yesus: “Demi mereka, Aku menguduskan diri-Ku.”
Paulus juga kerap mengajak pembacanya untuk meneladani hidupnya (lihat 1 Kor 4:16; 11:1; 2 Tim 3:10–14; Flp 3:17; 2 Tes 3:9). Ia tidak segan membela pelayanannya berdasarkan apa yang bisa dilihat oleh orang dan apa yang hanya bisa dilihat oleh Allah (1 Tes 2:1–12).
Kita tahu dari pengalaman bahwa satu pelayanan bisa hancur karena ketidak-kudusan. Maka penting untuk merenungkan peran positif kekudusan dalam pelayanan kita. Kasih kepada pendengar kita seharusnya menjadi motivasi utama dalam kerja keras kita bekerja sama dengan Roh Kudus dalam karya pengudusan ini (Flp 2:12–13).
Sebagian dari mempersembahkan hidup kita sebagai korban di atas mezbah iman jemaat (Flp 2:17) adalah memastikan bahwa hidup kita sebagai persembahan itu berkenan kepada Allah (Ibr 12:28–13:16). Jika kita mengejar kekudusan demi kemuliaan Allah dan kebaikan jemaat, kita juga akan menikmati berkatnya. Sebab:
“Tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan.”
(Ibrani 12:14)
Jangan harapkan keintiman dengan Allah bila kita mengabaikan pengudusan. Namun, jika kita mengejar Allah dengan motif yang benar, penglihatan kita akan Allah menjadi lebih jelas, dan hal itu akan meresapi khotbah kita.
Doa:
Bapa, ada hari-hari di mana aku berharap kekudusanku sendiri tidak terlalu penting dalam pelayananku. Itu akan terasa lebih mudah. Aku bisa sekadar menyampaikan pesan dan mengabaikan bagian non-verbal dari Injil. Aku bahkan bisa tergoda berpikir bahwa ketidakkudusanku justru menunjukkan kasih karunia-Mu. Lindungilah aku dari segala tipu daya semacam itu, ya Tuhan. Kuatkan kehendakku untuk melakukan kehendak-Mu dari hati, dengan mengandalkan Roh Kudus-Mu. Tolong aku hari ini untuk melangkah dalam ketaatan Injil yang telah Engkau siapkan bagiku, dan bersukacita bahwa Engkau dapat memberitakan Injil melalui hidupku. Amin.