“Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku. Aku mengingat engkau selalu dalam doaku, siang dan malam. Dan apabila aku mengingat air matamu yang dahulu, aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah sukacitaku. Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu.”
(2 Timotius 1:3–6)
Karunia rohani adalah hal yang luar biasa, tetapi tidak ada satu pun karunia yang datang dalam keadaan sudah sepenuhnya matang. Ingatlah 1 Korintus 12:4–6:
“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.”
Karunia, pelayanan, dan pekerjaan adalah tiga hal yang tak terpisahkan. Mereka merupakan “tiga cara pandang terhadap manifestasi Roh.” Ketiga pribadi Allah (disebut di sini sebagai “Roh,” “Tuhan,” dan “Allah”) semuanya terlibat dalam memampukan kita melayani dan membangun tubuh Kristus, yaitu gereja.
Saat kita menggunakan karunia kita, kita terlibat dalam berbagai macam pelayanan, melakukan berbagai pekerjaan kerajaan Allah. Dalam semua itu, Allah bekerja. Kita pun bekerja. Kita melayani. Atau, dalam konteks buku ini: tidak ada yang namanya karunia berkhotbah tanpa seorang pengkhotbah yang benar-benar berkhotbah. Cangkul tidak berguna kalau tidak digunakan. Karunia akan berkembang—atau seperti yang dikatakan oleh para Puritan dahulu, “diperbaiki” lewat penggunaan.
Proses memperlengkapi terjadi saat para pelayan yang memperlengkapi menyediakan pengajaran, penjelasan, teladan, serta kesempatan bagi orang-orang yang diperlengkapi untuk menggunakan karunia mereka, dan juga menerima dorongan serta masukan untuk bertumbuh.
Bahkan para pengkhotbah (yang disebut dalam Efesus 4:11 sebagai “gembala-pengajar”) juga perlu diperlengkapi. Agak berlebihan, tapi masih ada benarnya, bahwa di beberapa daerah terpencil siapa saja yang memiliki Alkitab otomatis menjadi pengkhotbah—meski mungkin orang itu hampir tidak memahami isi pesannya. Kondisi di mana “yang memperlengkapi” justru tidak diperlengkapi menghasilkan dampak yang buruk. Bukan karena mereka tidak memiliki karunia berkhotbah, melainkan karena tidak ada yang mengajar, mencontohkan, atau melatih mereka agar karunianya berkembang.
Karena Allah mengasihi gereja dan ingin menjaganya dari kesesatan, Dia kadang mengurapi para pengkhotbah yang bahkan tidak diperlengkapi secara formal untuk berkhotbah dengan kuasa dan ketepatan yang mengejutkan. Namun, Allah tidak merancang agar ini menjadi norma. Dia memberikan orang-orang yang dikaruniai untuk memperlengkapi jemaat—termasuk para pengkhotbah—agar seluruh tubuh Kristus bertumbuh menuju kedewasaan dan kesatuan iman.
Secara praktis, menjadi pengkhotbah tidak pernah dilakukan sendirian. Anda mungkin merasakan panggilan dari Allah untuk berkhotbah. Namun, bahkan jika itu benar-benar panggilan dari Tuhan, tetap saja Anda akan membutuhkan orang lain yang membekali Anda agar dapat menggunakan karunia tersebut.
Siapa yang bertanggung jawab untuk memperlengkapi ini? Terlalu sering, kita membiarkan orang muda yang merasa dipanggil untuk berkhotbah mencari sendiri siapa yang bisa membantu mereka. Padahal jauh lebih baik jika para penatua gereja secara aktif mencari mereka yang bisa dipercayakan untuk memberitakan Injil dan memiliki kemampuan untuk mengajar (2 Timotius 2:2). John Owen benar saat mengatakan bahwa pemanggilan seorang pendeta adalah tugas gereja. Betapa banyak luka hati bisa dihindari jika gereja-gereja lokal meneguhkan dan mendukung calon pengkhotbah sejak dini! Para pemimpin gereja harus mengambil inisiatif memperlengkapi para pengkhotbah muda mereka dan, jika mungkin, melengkapinya dengan pelatihan seminari formal.
Jika Anda seorang pemimpin gereja, mintalah kepada Tuhan agar menunjukkan seseorang yang tampaknya memiliki karunia berkhotbah yang perlu dibangkitkan kembali. Jika Anda bukan seorang pemimpin tetapi merasa Anda memiliki karunia ini, carilah kesempatan untuk menggunakannya. Ini bukanlah kesombongan. Pelayanan yang setia dalam hal-hal kecil akan menguji panggilan dan karunia Anda serta membantu gereja untuk meneguhkannya jika memang pantas.
Doa:
Bapa, terima kasih untuk mereka yang dulu melihat benih karunia rohani dalam diriku dan memberiku kesempatan untuk menggunakannya. Terima kasih untuk mereka yang mendorongku menjalankan karunia itu, bahkan ketika tanda-tanda janji masa depan masih sangat samar. Terima kasih untuk mereka yang mendukungku dalam tahun-tahun pelatihan dan menahanku saat aku berpikir terlalu tinggi tentang diriku sendiri. Terima kasih untuk jemaat-Mu yang penuh kasih yang bersabar saat aku keras kepala berbicara padahal seharusnya belajar mendengar. Tolong aku agar bisa menjadi seperti mereka bagi generasi berikutnya. Amin.