Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN, yang menciptakan engkau, hai Yakub, dan yang membentuk engkau, hai Israel: “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku. Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau. Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, Yang Mahakudus dari Israel, Juruselamatmu; Aku memberikan Mesir sebagai tebusanmu, Etiopia dan Syeba sebagai gantimu.”
(Yesaya 43:1–3)
Allah yang menyatakan diri
Lukas 5:1–11 memperlihatkan empat aspek penyataan diri Allah – tindakan sejarah, firman, pribadi, dan Roh Kudus:
Suatu hari, ketika Yesus berdiri di tepi danau Genesaret, orang banyak mengerumuni Dia untuk mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai; para nelayan telah turun dan sedang membilas jala. Ia naik ke salah satu perahu, yaitu perahu milik Simon, dan meminta agar perahu itu ditarik sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.
Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”
Simon menjawab: “Guru, sepanjang malam kami telah bekerja keras dan tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”
Setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Maka mereka memberi isyarat kepada teman-teman mereka di perahu yang lain untuk datang membantu. Mereka datang dan mengisi kedua perahu itu sampai hampir tenggelam.
Ketika Simon Petrus melihat hal itu, ia tersungkur di depan kaki Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini orang berdosa!” Sebab ia dan semua yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap, demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, teman Simon.
Lalu Yesus berkata kepada Simon: “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Dan setelah mereka membawa perahu ke darat, mereka meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Dia.
Ketika Yesus berbicara, orang banyak mendengar firman Allah. Ketika Ia bertindak, mereka sadar bahwa mereka berada di hadapan Allah yang kudus. Apa yang dilihat dan didengar oleh para nelayan itu cukup untuk membuat mereka meninggalkan segalanya dan mengikut Dia.
Saya cenderung berpikir bahwa urutan peristiwa di sini penting. Setelah Yesus selesai mengajar orang banyak, Ia berbicara secara pribadi kepada Petrus – mengucapkan kata-kata yang menguji iman Petrus. Petrus memilih untuk taat kepada perkataan Kristus, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pengetahuan dan pengalaman profesionalnya. Ketika perkataan Yesus terbukti benar dengan tangkapan ikan yang luar biasa banyak, Petrus langsung sadar bahwa ia dan Yesus tidak setara. Ini bukan hubungan antar rekan sejajar. Yesus adalah Tuhan. Meskipun Petrus mungkin belum memahami sepenuhnya arti kata “Tuhan” saat itu, dia sudah cukup mengerti untuk merasa hancur dalam hadirat kekudusan yang sempurna, dan sekaligus bersedia meninggalkan segalanya untuk mengikut Yesus.
Paradoks ini akan selalu menjadi ciri khas dari hubungan yang sejati dengan Allah yang hidup:
Kita tertarik kepada-Nya, namun juga gemetar dalam kekaguman yang tidak nyaman – kekaguman yang bahkan membuat kita ingin meminta Dia menjauh.
Jika kita terlalu nyaman dalam hadirat-Nya, maka pengetahuan kita tentang Dia belum tepat.
Jika kita merasa tidak layak untuk datang ke hadirat-Nya, maka kasih karunia Injil yang menakjubkan itu belum sungguh meresap ke dalam hati kita.
Ada orang-orang yang pernah mengeluh bahwa pengkhotbah mereka tidak memiliki bobot rohani – tidak ada kesungguhan hormat yang menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar berada di hadirat Allah yang hidup.
Saat kita berdiri di hadapan jemaat dengan Alkitab terbuka, mereka seharusnya merasakan bahwa kita semua sedang berdiri di tanah yang kudus.
Kepercayaan diri pribadi kita sebagai pengkhotbah akan sirna, tetapi pengharapan bahwa Allah akan berbicara sangat tinggi – karena kita telah lebih dulu mendengar suara-Nya.
Kita, seperti Musa, akan menanggalkan kasut kita.
Kita, seperti Yesaya, akan mengakui kenajisan kita, dan menerima pengampunan-Nya.
Bagaimana orang melihat dirimu sebagai wakil Allah?
Apakah sikapmu mencerminkan kekudusan dan kuasa-Nya?
Carilah wajah-Nya, supaya para pendengarmu, seperti orang-orang dahulu memandang Petrus dan Yohanes, juga berkata bahwa engkau telah bersama dengan Yesus (Kis. 4:13).
Doa
Bapa yang penuh kasih,
Aku mengaku bahwa terlalu sering aku datang ke hadirat-Mu dengan santai, tanpa mempertimbangkan kekudusan-Mu yang dahsyat.
Ampunilah aku demi Yesus, dan ingatkan aku sesering mungkin bahwa Engkau sepenuhnya berbeda dari semua yang lain yang mengaku layak disembah.
Engkau adalah Allah yang kudus. Terima kasih bahwa di dalam Yesus, aku tetap dapat memiliki akses kepada-Mu.
Amin.