Di era digital ini, istilah “khotbah” sering kali memunculkan respons negatif—bukan karena pesan yang disampaikan, tetapi karena cara dan kesan yang ditinggalkan. Seperti halnya ketika seseorang membuka YouTube dan melihat video dengan judul yang terdengar terlalu “menggurui”, banyak yang langsung melewati atau bahkan menghindarinya. Ini mengingatkan kita pada istilah “mansplaining” yang sering dipakai di media sosial—ketika seseorang menjelaskan sesuatu dengan cara yang merendahkan atau terkesan sok tahu, padahal lawan bicaranya tidak meminta penjelasan itu. Nah, begitulah cara sebagian orang modern melihat khotbah: sebagai bentuk komunikasi satu arah yang terasa menghakimi, membosankan, atau tidak relevan dengan hidup sehari-hari.
Pertama, Fenomena ini menunjukkan bahwa “berkhotbah” telah kehilangan tempatnya di hati banyak orang, terutama di tengah budaya yang lebih menghargai percakapan daripada pengajaran, lebih tertarik pada konten yang relatable daripada yang terdengar seperti kuliah moral. Dalam masyarakat yang serba cepat, visual, dan interaktif ini, khotbah dianggap seperti suara dari masa lalu—terkadang dipandang sebagai gangguan, bukan jawaban. Masyarakat dan budaya pada umumnya tampaknya tidak menghargai khotbah. Sikap merendahkan terhadap khotbah hanya memperburuk masalah di tahun-tahun berikutnya. Orang-orang yang skeptis memiliki alergi atau bahkan keengganan terhadap kata khotbah.
Kedua, irosinya lagi bagaimana ilmu berkhotbah sering kali tidak terlalu dihargai dalam pendidikan teologi. Saya masih dapat merasakan sentakan-sentakan yang merendahkan selama studi khotbah. Rekan-rekan mahasiswa akan mendengar “Saya mengambil gelar dalam bidang homiletika” dan dengan ketus bertanya, “Apakah itu benar-benar sebuah disiplin akademis – bukankah itu bisa dipelajari dalam setiap minggunya?” Para teolog lebih memilih dalam bidang biblika dan sistematika guna mewakili pendidikan teologi yang terhormat dan serius.
Akan tetapi, para teolog praktis, seperti ahli homili, konselor, pendidik Kristen, ahli etika Kristen, dan yang lainnya berada di bawah klasifikasi mereka sendiri yang rendah, dan disiplin ilmu mereka mulai dilupakan di seminari. Seorang homiletikus yang mengajar di sekolah keilahian di sebuah universitas riset terkenal pernah bercerita kepada saya bagaimana kantor para homiletikus berada di ruang bawah tanah gedung perkantoran karena para “pengkhotbah” dipisahkan dari staf pengajar lainnya di sekolah tersebut.
Mengingat masa-masa yang meremehkan seperti itu, beberapa seminari menyerah pada budaya dan bahkan mengurangi persyaratan mata kuliah khotbah mereka. Saya telah menyaksikan bahwa semakin banyak seminaris yang tidak menganggap serius mata kuliah khotbah mereka dan institusi mereka semakin banyak yang hanya mewajibkan satu mata kuliah khotbah, sehingga memberikan kesan bahwa mata kuliah ini tidak terlalu sulit dan signifikan. Terkadang para profesor yang mengajar Alkitab dan teologi memberikan komentar pedas baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa mata kuliah khotbah dan pelayanan praktis adalah mata kuliah yang rendah. Sikap umum yang tidak terucapkan adalah bahwa “siapa pun dapat mengajar khotbah.”
Ketiga, bahkan dalam konteks gereja tertentu, waktu untuk pembacaan Kitab Suci dan Firman yang diucapkan telah dikurangi dalam ibadah bersama. Waktu ibadah yang lebih besar dialokasikan untuk pengumuman, nyanyian, liturgi, kesaksian, wawancara, drama dan sandiwara, multimedia, dan elemen-elemen ibadah lainnya. Khotbah tradisional tampaknya semakin kuno dalam budaya gereja kita yang penuh dengan media. Rentang perhatian pendengar yang terbatas telah mengakibatkan berkurangnya waktu untuk khotbah. Banyak pendeta hari ini hidup dalam sistem gereja yang secara diam-diam mengirimkan pesan bahwa khotbah hanyalah salah satu elemen ibadah, bukan pusat pembentukan rohani umat. Tanpa disadari, mereka bisa kehilangan keyakinan bahwa firman yang dikhotbahkan benar-benar memiliki kuasa untuk membentuk kehidupan jemaat.
Dengan membatasi kecenderungan sikap ini, saya ingin menyampaikan dalam bab pembuka ini tentang pentingnya khotbah dalam pendidikan teologi dan dalam kehidupan gereja. Firman yang diucapkan tetap menjadi komponen yang sangat penting bagi vitalitas jemaat. Namun, khotbah-khotbah yang ceroboh secara eksegetis, kurang dipersiapkan, dan tidak relevan secara aplikatif telah menghasilkan sebuah kelesuan rohani di banyak jemaat.
Pada saat yang sama, khotbah sering kali menjadi sebuah disiplin yang terpolarisasi, yang menggairahkan atau membatu para pengkhotbah. Karena saya telah mengalami pergumulan dan krisis identitas sebagai seorang pengkhotbah dan pengajar para pengkhotbah, saya ingin mendorong para seminari, pendeta baru, dan pendeta yang sudah berpengalaman ketika mereka mempertimbangkan panggilan mereka untuk berkhotbah dan menyuntikkan visi untuk memberitakan Firman Tuhan secara efektif – dan mengapa hal itu penting.